2nd T-POMI
2018, 4 Februari
Share berita:

Arief Zamroni, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) mendesak, pemerintah agar dapat membiayai perbaikan tanaman kakao dari kutipan ekspor kakao. Bahkan pembentukan BPDP-Kakao pun juga sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang memungkinkan adanya pembiayaan usaha perkebunan dari penghimpunan dana pelaku usaha.

Tidak hanya itu, melalui BPDP-Kakao pemerintah dapat menetapkan kutipan terhadap ekspor komoditas yang dananya dapat digunakan langsung untuk untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM), penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan. Kebijakan ini sudah diterapkan pada kelapa sawit dan seharusnya bisa diterapkan kepada komoditas kakao.

“Sudah seharusnya pemerintah membentuk Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kakao mengingat besarnya kontribusi ekspor kakao dan turunannya terhadap devisa Negara,” tegas Arief.

Terbukti, berdasarkan data dari laporan Statistik Perkebunan Indonesia untuk Kakao tahun 2015-2017 yang dirilis Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan kakao menyumbangkan devisa negara melalui ekspor sebesar 1,15 miliar dolar AS pada tahun 2013, naik menjadi 1,244 miliar dolar AS pada 2014, kemudian menjadi 1,307 miliar dolar AS pada 2015, dan 895 juta dolar AS sampai September 2016.

Sedangkan produksi kakao Indonesia cenderung berfluktuasi menurut dari 720.862 ton pada 2013, 728.414 ton pada 2014, kemudian turun menjadi 593.331 ton pada 2015, dan naik menjadi 656.817 ton pada 2016, dan diprediksi mencapai 688.345 ton pada 2017 namun ini masih jauh dari potensi yang bisa di raih Indonesia dengan luas aareal 1,7 juta ha yang seharusnya bisa mencapai produksi di atas 1 juta ton . Namun komoditas kakao masih mampu menyumbang devisa hingga US$ 1,05 miliar tahun lalu.

“Melihat data tersebut kami mendesak untuk adanya pembentukan BPDP-Kakao karena saat ini banyak tanaman milik masyarakat yang sudah tua dan produksinya rendah. Pemerintah jangan hanya peduli dengan kepentingan sawit saja, dan yang harus diingat bahwa kakao itu tanaman rakyat yang lebih dari 95 persen merupakan miliki masyarakat. Sehingga sangat membutuhkan dukungan bagi masyarakat,” papar Arief.

Baca Juga:  Penyederhanaan Aturan Memperlancar Program PSR

Hal senada diungkapkan Adi Pertama, petani kakao dari Kelompok Tani Buana Mekar, Desa Angkah Tabanan Bali bahwa petani masih membutuhkan banyak dukungan dari masyarakat.

Diantaranya yaitu masih banyak petani yang membutuhkan bantuan bibit karena tanamannya sudah tua. Lalu dari sisi pasca panen petani juga membutuhkan bantuan alat pengolahan agar produksi biji kakao lebih baik.

“Kami juga butuh tenaga pendamping agar petani dapat senantiasa dapat mengekses dan inovasi baru. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan petani kakao se-Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit,” jelas Adi.

Disisi lain, kata Adi, petani kakao organik, juga membutuhkan tidak hanya sekedar bantuan untuk perbaikan kebun. Namun membutuhkan dukungan agar terjadi perbaikan mutu dan pengolahan sehingga petani bisa mendapatkan harga yang lebih baik.

“Sebaiknya petani kedepan bisa memasarkan biji kakao premium dengan harga yang lebih menarik dan mendapatkan nilai tambah dari produk olahan”, kata Adi.

Lanjutkan Gernas Kakao
Memang, Abdul Rauf, petani kakao asal Desa Batu Alang Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan menambahkan, selama ini petani cukup terbantu dengan program Gernas Kakao. Hanya saja masih banyak petani yang belum mendapatkan mendapatkan bantuan dari program tersebut dan saat ini kondisi kebunnya rusak.

Berdasarkan catatan Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian hanya sekitar 27 persen dari total luas areal tanaman kakao yang ada saat ini sekitar 1,7 juta hektar (data 2016).

“Kami berhadap agar bantuan seperti Genas Kakao dapat dikucurkan kembali kalau tidak produktivitas kebun masyarakat akan menurut. Apa lagi saat ini harga kurang baik, kalau berkepanjang dan produksi kebun masyarakat rendah maka akan banyak masyarakat yang akan ganti tanaman kakaonya”, kata Abdul Rauf.

Baca Juga:  NEGARA TUJUAN EKSPOR LOCKDOWN, PABRIK KARET DI SUMUT BERENCANA RUMAHKAN KARYAWAN

Melihat fakta tersebut, menurut Misnawi, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PUSLITKOKA) untuk bisa meningkatkan produksi nasional yang diperkirakan minimal 5 persen dari total areal perkebunan kakao nasional, maka harus dengan cara replanting berkelanjutan baik dari swadaya masyarakat atau pemerintah.

“Tapi jelas, hal itu itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga dengan adanya dana komoditas yang dikutip dari ekspor kakao maka pelaksanaan program peningkatan produktivitas kakoa dapat dilakukan secara konsisten,” saran Minsnawi.

Selain replanting, lanjut Misnawi, dana pengembangan kakao juga dibutuhkan untuk penguatan SDM dan juga riset. Terkait penelitian diperkirakan kebutuhan penelitian kakao paling sedikit Rp 5 Milyar setiap tahunnya.

“Maka dengan dukungan riset yang besar PUSLITKOKA dapat melakukan akselerasi dalam menghasilkan bahan tanam baru, penerapan bioteknologi dan inovasi teknologi dalam hal budidaya dan pengolahan,” pungkas Misnawi. YIN