Berbagai cara terus digenjot untuk mendongkrak program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) diantaranya dengan memperkecil persyaratan dari 20 item menjadi 14 item.
Bambang Gianto, petani asal Sumatera Selatan mengakui bahwa semenjak adanya rekomendasi teknis (rekomtek) di Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Kalau dulu permohoan diajukan ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu membuat tidak jelas dan dan tidak ada kepastian. Tapi sekarang lebih jelas dan ada kepastian semejak rekomendasi teknis (Rekomtek) ada di Ditjen perkebunan.
“Jadi saat ini atauran mainnya sudah lebih jelas ada pedoman umum (Pedum)-nya. Sehingga kami tinggal mengajukan dari Kabupaten, lalu ke Provinsi hingga akhirnya pusat,” ucap Bambang.
Bahkan Bambang pun mengakui bahwa dengan memangkas persyaratan PSR dari 20 item menjadi 14 item sangat membantu petani. Aturan ini diperkecil agar petani lebih mudah dalam memenuhi persyaratan PSR, karena PSR ini penting bagi petani.
Rendahnya Kelembagaan Petani Ikut Menjegal
Meski begitu, ada salah satu kendala terbesar dalam berjalannya PSR tersebut. Salah satunya yaitu masih ada petani yang belum mau bergabung ataupun membentuk kelembagaan petani yang berbadan hukum seperti koperasi ataupun kelompok tani.
“Namun masalahnya masih ada petani yang belum ikut atau tergabung dalam koperasi tani. Jangankan berkoperasi, yang berkelompak juga ada dan itu bisa menjadi kelemahan petani. Kita tidak bisa bayangkan jika petani tidak berkoperasi maka petani tidak akan bisa berjalan,” keluh Bambang yang juga Ketua KUD Mukti Jaya di Musi Banyuasin.
Sebab, Bambang mengakui, jika seorang petani ikut dalam keanggotaan koperasi ada banyak manfaat yang akan didapatkan. Diantaranya bisa memecahkan permasalahan petani tersebut. Sebab jika seorang petani ikut dalam suatu koperasi maka semua permasalahan bisa didiskusikan bersma.
“Kalau petani ikut dalam suatu kelembagaan seperti koperasi maka masalah setiap petani bisa disiskusikan didalam koperasi, sehingga dengan cepat masalah petani akan terpecahkan. Tapi jika petani tidak tergabung dalam koperasi maka petani akan sulit memecahkan masalahnya,” ucap Bambang.
Terbukti, Bambang mengatakan berkat bergabungnya petani dalam satu wadah koperasi maka KUD Mukti Jaya telah melakukan peremasaan seluas 2.449 hektar dan saat ini semuanya sudah tertanam, bahkan tanaman tersebut sudah mulai belajar berbuah.
Sehingga dari total luas lahan yang tergabung dalam KUD Mukti Jaya sekitar 4 ribuan hektar dan yang berpotensi 3.800 hektar sedangkan yang sudah diremajakan seluas 2.449 hektar maka yang akan diremajakan saat ini tinggal sedikit lagi.
“Jadi kami merasakan adanya program PSR ini karena sangat membantu petani,” papar Bambang.
Disisi lain, Bambang pun mengakui pentingnya keitraan antara perusahaan dengan petani dan koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemda. Sehingga harus diakui bahwa saat ini sudah ada perubahan mengenaiprogram PSR ini.
Hal senada diungkapkan Dr.Ir Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) membenarkan bahwa program PSR harus dilakukan bersama-sama, ini karena melibatkan banyak pihak.
Harus Ada Koordinasi
Contohnya untuk pembiayannya berada ditangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), kemudian untuk petunjuk teknis (juknis) berada di tangan Ditjen Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan). Sedangkan untuk admintrasi dan semua ijin adanya di Kabupaten.
“Sehingga tidak ada yang mengkordinir mengenai data-data tersebut,” keluh Tungkot.
Padahal, menurut Tungkot, salah satu syarat utama untuk mengikuti program PSR adalah harus ada legalitas lahan seperti surat Izin Usaha Perkebunan (IUP), Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan (STD-B). Dan keterangan surat-surat tersebut yang mengetahui adalah Pemda seperti Dinas Badan Pertanahan dan Dinas Perkebunan tingkat Kabupaten.
“Sementara dana tersebut tidak ada di BPN atau Dinas Perkebunan tingkat Kabupaten, darimana dananya mereka?” Risau Tungkot.
Bahkan, Tungkot juga menyayangkan tidak sedikit daerah yang tiak memiliki Dinas Perkebunan tingkat Kabupaten ataupun Provinsi. Alhasil tidak sedikit yang belum paham mengenai perkebuanan sehingga permasalahan tersendiri.
Maka untuk menghadapi permaslahan tersebut, tidak sedikit perusahaan yang terjun langsung untuk menjadi penjamin bagi petani yang memasok tandan buah segar (TBS) ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik perusahaan tersebut. Perusahaan menjadi off taker (penjamin sekaligus avalist) bagi petani plasmanya. Diantaranya perusahaan di PT Paya Pinang di Kabupaten Serdangbedagai, Provinsi Sumatera Utara
“Dia sebagai perusahaan bertindak menjadi off taker sehingga sangat membantu petaninya dalam penyealuran dan pencairannnya. Bahkan saat ini sudah masuk kedalam tahap kedua,” jelas Tungkot
Melihat fakta tersebut, Tungkot berharap pemerintah pusat bisa membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang melibatkan Pemda seperti BPN dan Dinas Perkebunan tingkat Kabupaten.
Adapun cara lain, yaitu dengan melibatkan perusahaan-perusahaan sebagai off taker seperti yang dilakukan oleh PT Paya Pinang membantu petani plasama atau petani swadaya tapi yang bermitra dengan perusahaan tersebut. Karena posisi petani plasma ataupun mitra biasanya statusnya lebih jelas daripada petani yang bukan plasma ataupun mitra dari suatu perusahaan.
“Artinya PSR tidak bisa berjalan sendiri oleh satu atau dua instansi saja karena melibatkan banyak instansi,” pungkas Tungkot. YIN