2nd T-POMI
2019, 26 Agustus
Share berita:

Indonesia pada awalnya merupakan negara dengan luasan kelapa terbesar di dunia (± 3,6 jt ha), diikuti oleh Filipina (3,5 jt ha), kemudian India (2,1 jt ha). Namun saat ini areal kelapa Indonesia semakin menurun (3,4 jt ha) dengan adanya alih fungsi lahan dan masalah hama dan penyakit serta tanaman yang sudah tua. Indonesia bersama-sama dengan Filipina, dan India, menjadi pemasok terbesar kebutuhan kelapa dunia.

Kebutuhan dunia terhadap berbagai produk kelapa seperti air kelapa sebagai minuman isotonik, minyak, gula rendah indeks glikemik, MCT, desiccated coconut (DC), nata decoco, santan, minyak kelapa murni (VCO), minyak kelapa sehat, coco fiber, sabut, arang aktif dan kayu kelapa semakin meningkat. Permintaan pasar dunia terhadap beberapa produk kelapa meningkat tajam dari tahun 2013 ke 2018. Menurut data dari ICC, untuk produk air kelapa meningkat sebesar 149%, santan kelapa 54 %, VCO 33% dan DC 29%.

Keunggulan komparatif yang dimiliki belum mampu mengimbangi tuntutan pasar global. Beberapa permasalahan fundamental antara lain keterbatasan bahan baku untuk industri berkelanjutan, rendahnya produktivitas yang diakibatkan oleh masih tingginya proporsi tanaman tua yang sudah tidak produktif lagi, perubahan iklim global, penggunaan varietas asalan, kurangnya penerapan teknik budidaya yang baik dan pengelolaan pasca panen yang kurang tepat serta sebagian besar produk dari Indonesia dieksport dalam bentuk bahan mentah.

Disamping itu, industri dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang masih rendah, belum optimalnya pola kemitraan antara industri, petani dan perantara untuk mendorong pencapaian kesejahteraan petani, keterbatasan sarana dan prasarana poduksi, status kepemilikan lahan, status usaha belum ekonomis, belum intensifnya industri perbenihan, serta keterbatasan akses petani terhadap teknologi dan permodalan, kelembagaannya masih lemah, dan belum optimalnya penciptaan kondisi berbisnis yang kondusif dari pemerintah daerah.

Baca Juga:  Program Biodisel Tingkatkan Kesejahteraan Petani

Oleh sebab itu, pembangunan perlu dilaksanakan secara komprehensive dalam suatu tatanan pengembangan wilayah yang dilakukan secara partisipatif (melibatkan seluruh stakeholder), ekonomis, sesuai kebutuhan, terintegrasi (on farm dan off farm), dan berkelanjutan. Peluang peningkatan volume dan mutu produksi masih tinggi karena didukung oleh tingginya permintaan pasar lokal dan internasional, relatif tingginya minat petani, tersedianya varietas unggul dan teknologi inovasi.

Hama dan penyakit menjadi salah satu faktor penghambat pemenuhan kebutuhan pasar global. Salah satu hama yang mendapatkan perhatian akhir-akhir ini adalah kumbang kelapa Oryctes rhinoceros (Coconut Rhino Beetle, CRB) yang saat ini sudah mengembangkan resistensi terhadap Oryctes Nudi Virus (OrNv) yang sebelumnya efektif dalam mengendalikan hama CRB. Guam adalah sebuah pulau di Kawasan Pacific yang pertama kali melaporkan adanya Strain baru tersebut pada tahun 2007 sehingga namanya disebut CRB-G.

Hasil analisis sequence dari Mitochondrial Citochrome oxidase l (COI) menunjukkan adanya mutasi pada CRB-G. Dari Guam, CRB-G sudah menyebar ke negara-negara lain, seperti PNG (2009), Hawai, USA (2013), Solomon Island, dan PNG (2015) serta Philippines dan Indonesia. Kerusakan berat kelapa akibat serangan CRB-G dilaporkan dari Guam dan negara-negara lain yang sudah terinfestasi dengan strain baru ini.

Badan Litbang Pertanian, Kementan, telah menghasilkan sejumlah teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa dan telah dimanfaatkan oleh beberapa negara produsen kelapa di Pacific. Ir. Jelfina C. Alouw, MSc. PhD adalah peneliti di Balit Palma sejak tahun 1992 sampai 2017, telah berperan sebagai Ketua Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit pada tahun 2005-2010, Penanggung jawab program penelitian Kelapa dan Kepala Laboratorium Balit Palma sejak 2015 sampai 2017 setelah yang bersangkutan menyelesaikan study S3 nya di University of Nebraska Lincoln, USA.

Baca Juga:  INDUSTRI COKELAT SKALA UKM, ALTERNATIF PETANI KAKAO TINGKATKAN NILAI TAMBAH

Pada pertengahan tahun 2017, Alouw dipromosikan sebagai Kepala Bidang Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil-hasil penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Alouw sudah terlibat pada beberapa event Internasional antara lain sebagai koordinator program di Indonesia dalam project “Development of Integrated Coconut Pest Management Strategies for the Control of Oryctes rhinoceros” pada Tahun 2006-2007. Project yang dibiayai oleh CFC/APCC/FAO ini dilakukan oleh beberapa negara penghasil kelapa antara lain Filipina, India dan Sri Lanka. Pembentukan “Farmer Field School” dalam pengembangan kelapa dengan fokus utama pada pengendalian hama CRB telah dilakukan di Sulawesi Utara.

Alouw diundang sebagai pembicara pada the 47th APCC COCOTECH Conference di Bali, pada tahun 2016, dan the 48th APCC COCOTECH Conference di Bangkok, Thailand pada tahun 2018. Keterlibatannya dalam seminar dan konferensi internasional kelapa telah membuka kerjasama teknis antara Indonesia dan negara-negara lain penghasil kelapa di Pasifik.

Pada tahun 2017 Alouw diundang oleh pemerintah Fiji melalui kedutaan Fiji di Jakarta, bekerjasama dengan Kementerian Pertanian Fiji dan International Coconut Community (ICC) untuk memberikan Technical Assistance dalam pengendalian hama CRB di Fiji. Setahun kemudian (2018), Alouw diundang oleh Kementerian Pertanian dan Perikanan Samoa bekerjasama dengan ICC dan The Pacific Community (SPC), untuk memberikan pelatihan pengendalian hama CRB kepada staf peneliti, teknisi dan petugas lapang serta industri kelapa di negara tersebut.

Kerjasama ini merupakan salah satu bentuk diseminasi inovasi teknologi Balitbangtan, Kementan dan sebagai ajang promosi produk-produk pengendalian hama ramah lingkungan yang diproduksi di Indonesia, serta mendapatkan pengakuan dunia bahwa SDM dan teknologi yang dihasilkan Indonesia sudah banyak dimanfaatkan oleh negara-negara lain.

Kunjungan dan kegiatan pelatihan di Samoa telah membuka pasar ekspor baru dari produk feromon yang diproduksi oeh perusahaan Indonesia ke Samoa. Pada awal kerjasama, pemerintah Samoa telah memesan kurang lebih 2.000 sachet feromon untuk digunakan sebagai salah satu alat monitoring populasi CRB dan sekaligus sebagai salah satu komponen dalam pengendalian CRB. Semoga upaya ini memberikan hasil yang diperlukan oleh masyarakat / petani kelapa agar kesejahteraannya hidupnya meningkat, serta bermanfaat bagi perkembangan industri kelapa berkelanjutan.

Baca Juga:  Wilmar Bedah Rumah di 20 Desa Kalimantan Tengah