2023, 6 Juni
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Mekanisme ekonomi untuk sertifikasi yang bersifat sukarela adalah harga premium, sedang yang bersifat wajib adalah harga diskon bagi yang tidak bersertifikat. Prayudi Syamsuri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini pada Seminar NasionaL “Keterpaduan Hulu-Hilir Untuk Meningkatkan Produksi Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Bersertifikat Di Pasar Global” yang diselenggarakan Media Perkebunan.

Pada sertifikat RSPO karena bersifat sukarela maka perlu ada insentif untuk membuat pelaku usaha melakukannya. Caranya dengan memberikan harga premium  sebagai apresiasi kepada pelaku usaha baik perusahaan perkebunan maupun petani yang sudah bersertifikat RSPO. Hal ini penting karena untuk mendapat sertifikat pelaku usaha sudah mengerahkan banyak upaya dan sumber daya.

Sedang pada ISPO yang saat ini wajib bagi perusahaan dan pekebun mulai tahun 2025 maka mekanisme yang diterapkan adalah harga diskon bagi perusahaan dan pekebun yang tidak bersertifikat. Selama ini ada keluhan bahwa ISPO tidak memberikan nilai tambah  karena tidak memberikan harga premium bagi pemegang sertifikat.

“Karena bersifat wajib maka mekanisme ekonominya bukan dengan memberi harga premium. Bagi yang sudah bersertifikat maka harga sesuai ketentuan tetapi bagi yang tidak maka diberlakukan harga diskon. Dengan cara ini maka pelaku usaha berusaha memenuhi kewajibanya untuk bersertifikat ISPO,” katanya.

ISPO saat ini sesuai dengan kewenangan Kementan  baru untuk budidaya dan CPO. Saat ini Kemenperin sedang menyusun ISPO untuk industri hilir seperti minyak goreng. Biodiesel juga nanti harus bersertifikat ISPO yang disusun oleh Kementerian ESDM.  Meskipun penyusunan prinsip dan kriterianya dikerjakan oleh kementerian berbeda tetapi ISPO adalah satu yaitu sistim kelapa sawit berkelanjutan Indonesia baik untuk CPO, minyak goreng, biofuel dan produk hilir lainnya.

Baca Juga:  Jangan Mengkambing Hitamkan Petani (Bagian 3)

Pada pembukaan seminar nasional, Prayudi menyatakan hulu hilir perkebunan kelapa sawit  adalah dua sisi mata uang dan satu napas tetapi kadang-kadang tidak bertemu, padahal harus ada dala satu kesatuan. Hulu kelapa sawit harus berada dalam satu kesatuan integrasi dengan hilir.

Pada hulu Prayudi berterimakasih pada pemerintah masa lalu, perusahaan dan petani karena sawit sekarang yang produksinya menjadi nomor satu dunia adalah hasil penanaman pada masa lalu. Tugas pemerintah masa kini adalah menjaga sustainabilitas. Saat ini Ditjenbun banyak menerima permintaan surat rekomendasi untuk perpanjangan HGU perusahaan. Sisi lain juga menerima banyak permintaan dari masyarakat untuk mencabut HGU perusahaan karena banyaknya konflik dengan masyarakat.

“Tantangan bagi kami saat ini adalah menjaga keberlanjutan usaha perkebunan kelapa sawit . Sedang pada kebun rakyat pemerintah menjaga dengan program Peremajaan Sawit Rakyat,” katanya.

Tantangan dihilir juga tidak ringan berkaitan dengan isu global dan perubahan iklim. Produsen tidak bisa mengklaim produknya bagus, sekarang yang dituntut adalah sertifikasi. Sertifikasi merupakan bukti bahwa perusahaan sudah melakukan apa yang dituntut pasar. Indonesia untuk kelapa sawit berkelanjutan sudah punya sertifikat ISPO. Tantanganya sekarang adalah bagaimana sertifikat ISPO ini bisa diterima pasar global.