2nd T-POMI
2016, 21 April
Share berita:

Suatu komoditas akan kuat jika didukung oleh suatu sumber daya manusia (SDM) yang juga kuat. Maka jika Indonesia ingin memenangkan persaingan di komoditas perkebunan harus bisa meningkatkan kualitas SDM perkebunan.

Dalam era persaingan dagang bebas atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia harus siap menghadapinya. Sebab suka tidak suka atau mau tidak mau Indonesia terlibat didalamnya dan jika memenangi persaingan dagang tersebut maka harus bisa meningkatkan produktivitas sehinggga menyebabkan peningkatan produksi.

Melihat hal tersebut, maka Indonesia yang dikenal sebagai penghasil perkebunan terbesar baik kelapa sawit, kakao, kopi, karet, tebu, ataupun lainnya bukan tidak mungkin di era MEA ini produk-produk tersebut juga akan menyerbu Indonesia, meskipun Indonesia juga mememiliki produk tersebut. Artinya Indonesia harus bisa bersaing terhadap produk-produk tersebut baik didalam ataupun luar negeri.

“Maka untuk bisa memenangi persaingan dagang kita harus bisa meningkatkan produktivitas termasuk pada perkebunan rakyat atau swadaya. Tapi untuk bisa meningkatkan produktivitas kita harus bisa menciptakan best practices (perkebunan yang baik). Adapun kunci untuk menciptakan best practices adalah SDM,” terang Purwadi, Rektor Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta kepada Perkebunan News.

Melihat pentingnya SDM pada komoditas kelapa sawit maka Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggandeng Instiper Yogyakarta selaku perguruan tinggi yang konsentrasi dibidang pertanian khususnya perkebunan.

Melalui kerjasama tersebut maka diharapkan bisa memperbaiki manajemen pengelolaan perkebunan milik petani khususnya petani swadaya atau mandiri. Caranya yaitu dengan mendidik atau membentuk SDM professional untuk mengelola perkebunan milik petani.

Adapun SDM tersebut diambil dari daerah yang memang saat ini sedang melakukan pengembangan perkebunan. “Contoh seperti kelapa sawit, saat ini sedang berkembang di daerah Kalimantan dan Sumatera,” urai Purwadi.

Baca Juga:  MENAKER CANANGKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BEBAS PEKERJA ANAK DI 7 PROVINSI

Namun, Purwadi mengingatkan, sebelum masuk ke masa pendidikan haruslah disaring terlebih dahulu. Maka sebelum dididik menjadi SDM yang profesional, pihak Instiper Yogyakarta harus mengetahui seberapa serius calon anak didiknya dengan cara tes tertulis serta lisan.

“Sebab jangan sampai dididik untuk mengelola kebun tapi tidak ada niat untuk kembali ke kebun. Jika hal tersebut terjadi maka sia-sialah pengajaran yang diajarkannya,” himbau Purwadi.

Sebab, Purwadi menerangkan, kedepan setelah proses pendidikan, siswa akan memperoleh sertifikat profesi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Sertifikat ini sangat penting karena sebagai acuan atau pedoman apakah SDM tersebut benar-benar mengusai dunia perkebunan.

Lebih dari itu, SDM tersebut dididik bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas lahan milik petani swadaya, tapi juga dididik bagaimana supaya lahan milik petani bisa menerapkan sistem sustainable. Artinya, SDM tersebut juga harus bisa membawa lahan milik petani memperoleh sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sertifikat ISPO penting bagi petani karena petani menguasai hampir dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang saat ini mencapai sekitar 10 juta hektar. Sehingga jika lahan milik perusahaan dan petani rata-rata sudah memiliki sertifikat ISPO maka tidak ada alasan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak sustainable.

Namun agar semua itu bisa cepat terlaksana maka masa pendidikan untuk SDM tersebut lamanya pendidikan untuk program Diploma 1 (D1) antara 9 – 12 bulan. “Adanya diploma 1 agar lebih cepat dan bisa langsung terjun ke kebun,” harap Purwadi.

Lalu, Purwadi menlanjutkan, agar program D1 benar-benar maksimal maka metode pengajarannya untuk teori lama pendidikan 8 bulan dan sisanya praktek langsung dilapangan atau dikebun. Maka setelah lulus bisa langsung diserhkan ke perkebunan rakyat.

Baca Juga:  Pemerintah Komitmen Remajakan Karet Rakyat

Lebih lanjut agar benar-benar tepat sasaran dalam penyaluran SDM terebut, BPDPKS juga menggang Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Inti Rakyat (Aspekpir).

“Diharapkan untuk satu orang lulusan (D1) akan mengelola kebun rakyat seluas antara 750 – 1.000 hektar,” janji Purwadi.

Bukan hanya itu, menurut Purwadi, juga ada program untuk Strata 1 (S1) dan Strata 2 (S2) untuk komoditas perkebunan. Sehingga ada tingkatan untuk mengelola perkebunan. Melihat pentingnya SDM untuk perkebunan maka pengajaran yang diberikan untuk D1, S1 ataupun S2 tentu berbeda. Hal ini karena saat terjun ke lapangan tugas dan tanggung jawabnya berbeda.

Alhasil, pada saat turun kelapangan maka sudah mengusai permesalahan-permasalahan di kebun dan pabrik sehingga dapat dengan cepat memberikan solusi. Maka kedepannya tenaga profesional dikomoditas perkebunan bukan tidak mungkin akan banyak dibutuhkan.

“Untuk itu kita berkomitmen akan mencetak SDM yang tangguh di bidang perkebunan,” tegas Purwadi. YIN