2022, 8 April
Share berita:

Jakarta. Mediaperkebunan.id
Terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 01 tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan menimbulkan problem baru yang memerlukan solusi. Hal itu dibahas dalam webinar bertajuk Konsekuensi dan Solusi Pencabutan 3,1 Juta Ha Konsesi Kawasan Hutan yang berlangsung hari ini, Kamis, 7 April 2022.

Kegiatan ini diadakan oleh Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) bersama Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan (BKH-2K). Webinar itu menghadirkan sejumlah narasumber seperti Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yeka Hendra Fatika, Direktur eksekutif BKH-2K Dr. sadino, SH, MH, serta Ketua Umum RJR Ir. Suhariyanto, IPU, ASEAN Eng.

Dalam kesempatan itu, Komisioner ORI Yeka Hendra Fatika tidak menampik bahwa ada potensi maladministrasi dalam SK 01 tersebut. Namun, menurut dia hal itu masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Menurut Yeka, ada setidaknya dua dugaan atau potensi maladministrasi yang cukup berat. Pertama adalah perizinan. Menurut Yeka, setiap izin memuat kewajiban pemegang izin dan evaluasi oleh pemberi izin dalam hal ini KLHK. Bila fungsi evaluasi tersebut berjalan, maka bisa terdeteksi bila ada pelanggaran yang dilakukan pemegang izin.

“Apabila hasil evaluasi telah ditemukan adanya pelanggaran namun tidak diambil tindakan atau pemberian sanksi, maka sesungguhnya tidak hanya pemegang izin yang melakukan pelanggaran, tetapi tindakan tersebut dapat mengarah pada tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara,” terang Yeka.

Potensi pelanggaran kedua ada pada konteks pertanahan. Yeka menjelaskan, HGU adalah hak atas tanah sesuai UU pokok Agraria, bukan izin. Maka, instansi yang berwenang mengatur adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Bila tanah tersebut ditelantarkan, HGU-nya bisa dicabut. Namun, kewenangan mencabutnya ada pada Kementerian ATR/BPN, bukan KLHK. “Jika pembatalan dilakukan oleh bukan yang berwenang, maka hal tersebut dapat mengarah pada terjadinya maladministrasi,” lanjut Yeka.

Baca Juga:  Harga Sawit Sumut Turun Satu Rupiah

Karena itu, Yeka mempersilakan pihak-pihak yang terdampak oleh keluarnya SK tersebut kepada Ombudsman. Ombudsman memiliki 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia. “Kami wajib menyelesaikan pengaduan mayarakat,” tuturnya.

Sebenarnya, ujar Yeka, Ombudsman punya wewenang untuk melakukan inisiatif pemeriksaan tanpa pengaduan. Informasi awal sudah cukup sebagai bahan pemeriksaan, namun, proses yang lebih rumit akan muncul saat inisiatif itu dibawa ke rapat pleno. Karena semua pimpinan harus sepakat dengan inisiatif tersebut. Lain halnya bila berangkat dari pengaduan masyarakat, di mana Ombudsman wajib menindaklanjuti.

Namun, Yeka menggaris bawahi bahwa pihaknya tidak mendorong masyarakat untuk melapor. Melainkan membuka ruang bila ada pihak yang melaporkan dugaan maladministrasi tersebut. Bila terbukti, instansi yang bersangkutan akan diberi waktu untuk melakukan tindakan korektif sesuai rekomendasi Ombudsman. Bila diabaikan, maka akan berlanjut pada tahap evaluasi monitoring.

“Kami berwenang mengumumkan ke publik kalau ada maladministrasi. Ombudsman memberi saran tindakan korektif kepada Presiden terhadap kementerian yang bersangkutan untuk melaksanakan,” jelas Yeka.

Menurut Yeka, selama dirinya menjadi komisioner Ombudsman, dia belum pernah melihat presiden mengabaikan saran dari Ombudsman. “Presiden mendengarkan masukan dari Ombudsman dan mengadopsinya meski tidak 100 persen,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, SK nomor 01 tahun 2022 tentang pencabutan izin Konsesi Kawasan Hutan mengatur sejumlah hal. Ada tiga lampiran dalam SK tersebut. Lampiran pertama berisi daftar izin konsesi kawasan hutan yang dicabut antara September 2015 sampai Juni 2021 sebanyak 42 perusahaan dengan luas area 812.796,93 ha.

Kemudian, lampiran kedua berisi daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan pencabutan. Mencakup 192 perusahaan dengan luas area total 3,1 juta ha. Sementara, lampiran ketiga berisi daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan evaluasi. Mencakup 106 perusahaan dengan luas area total 1,3 juta ha.

Baca Juga:  Dana Sarpras Untuk Perbaikan Sawit Rakyat

Konsekuensi perbedaan status perusahaan yang dicabut dalam lampiran SK itu menyisakan proses administrasi pemerintahan yang sedikit membingungkan dan juga meragukan. Untuk menghindari kebingungan itulah webinar diadakan.

Tujuannya adalah memberikan pemahaman, kepastian berusaha, serta mendorong langkah-langkah penyelesaian yang menjamin tujuan awal dari pengumuman tersebut, yakni pencabutan sebagai upaya penataan penggunaan lahan yang berkeadilan. Jangan sampai malah membingungkan masyarakat.

Ketua Umum RJR Ir. Suhariyanto, IPU, ASEAN Eng menjelaskan, bila publik merasa mendapat layanan yang tidak baik, ada Lembaga negara yang akan bertindak sebagai wasit, yaitu Ombudsman. Ombudsman akan mengambil tindakan sesuai tugas fungsi, dan wewenangnya. “Sehingga tidak perlu mengambil jalan pintas seperti praduga, opini, apalagi tindakan yang berdampak chaotic,” terang Ir. Suhariyanto.

Sementara itu, Direktur eksekutif BKH-2K Dr. Sadino, SH, MH menjelaskan, saat ini sudah 90 hari sejak SK 01 diterbitkan. Dia mengulas maladministrasi yang dilakukan oleh KLHK dalam membuat SK tersebut. “Kok itu dicampur antara izin, konsesi, dan macam-macam,” ujarnya.

Dari judul SK saja sudah ada kejanggalan. Karena tidak ada definisi mengenai izin konsesi kawasan hutan. Di KLHK, yang ada adalah SK Pelepasan Kawasan Hutan, juga izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, hutan tanaman, dan lainnya.

Karena itu, dia berharap SK itu belum final. Apalagi sudah ada penjelasan dari KLHK bahwa memang belum final. Mengingat belum semuanya diklarifikasi. “Berarti pencabutan ini baru sementara, tapi di SK tersebut tidak ada kata-kata sementara,” terangnya.

Karena itu, SK tersebut jadi membingungkan. “Antara judul dengan isi dan juga keberlakuan di masyarakat sangat berbeda,” lanjutnya. Bila melihat isi SK, terlihat bahwa memang akan dilakukan pencabutan, namun, bila melihat implementasinya, ada proses untuk menggantung status.

Baca Juga:  Tidak Ada Komoditi yang Menyamai Sawit

Pemerintah, tutur Dr. Sadino, mempunyai PP 23/2001 tentang perencanaan kehutanan. Ada tahap-tahap yang dimulai dari proses evaluasi, lalu pembekuan, baru pencabutan. “Harapan saya, semoga ini dilakukan sebagai tools untuk menilai apakah itu layak dicabut atau tidak,” tambahnya.