Minyak sawit mempunyai kandungan vitamin dan nutrisi tinggi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyakarat. Tingginya kandungan vitamin A dan E sangat dibutuhkan mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Sawit dengan tema “Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan”, di Jakarta.
Doddy Izwardy mengatakan perbaikan gizi merupakan investasi ekonomi dimana kecukupan gizi makro dan mikro merupakan prasyarat membangun kualitas sumberdaya manusia termasuk kualitas fisik dan intelektual serta produktivitas tinggi. Masalah stunting di Indonesia berdampak kepada tiga aspek yaitu gagal tumbuh, gangguan kognitif dan gangguan metabolisme. Jika masalah stunting tidak diatasi, maka Indonesia mengalami kerugian dari aspek ekonomi.
“Untuk itu, kami berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Karena masalah yang dihadapi pola konsumsi,” jelasnya. Kementerian Kesehatan berharap ada produk olahan kelapa sawit menghasilkan kaya akan vitamin A, melalui hasil penelitian.
Kalangan peneliti dari Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menawarkan solusi pemakaian minyak sawit merah alami untuk mengatasi kekurangan gizi masyarakat Indonesia.
Darmono Taniwiryono menceritakan pengalamannya sewaktu di Afrika yang menunjukkan tradisi makanan olahan minyak sawit merah telah dimulai semenjak 5.000 tahun lalu dengan teknik ekstraksi sederhana. Namun, saat ini minyak sawit merah alami yang kaya nutrisi belum termanfaatkan secara maksimal di Indonesia.
Dikatakan Darmono, disinilah peluang mengatasi kekurangan gizi dan kesehatan masyarakat sangat tinggi termasuk untuk mengatasi permasalahan stunting. “Di Indonesia, minyak sawit merah alami bisa dipakai sebagai campuran minyak makan pada berbagai tingkat persentase. Saat ini, telah ada minyak sawit merah yang dapat dikonsumsi untuk makanan olahan dan pakan ternak,” ujar Darmono yang juga menjabat Direktur Utama PT Nutri Palma Nabati.
Prof.Nuri Andarwulan menuturkan minyak sawit sangatlah cocok digunakan sebagai bahan baku minyak goreng karena mengandung hampir 50 persen asam lemak jenuh dan hampir 50 persen lemak tidak jenuh. Selain itu, terdapat pula kandungan omega 9 yang berfungsi untuk membangun dinding sel dan membran sel tubuh.
Dijelaskan Nuri, susu formula mengandung campuran spesifik lemak nabati yang berasal dari minyak sawit untuk meniru kandungan asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tak jenuh rantai tunggal (MFA), dan asam lemak tak jenuh rantai jamak (PUFA) pada ASI3.
“Banyak orang tidak tahu kandungan di susu formula berasal dari minyak sawit. Itu sebabnya negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat menekan komoditas sawit,” ujarnya.
Diantara minyak nabati lain, minyak sawit juga mengandung kandungan karoten (Vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (Vitamin E) yang sangat tinggi sehingga mengandung zat antioksidan. Dibandingkan minyak kedelai, kandungan tokotrienol minyak sawit dua kali lebih banyak
Sahat Sinaga sepakat bahwa asupan vitamin A di dalam minyak sawit dapat menanggulangi masalah stunting di Indonesia. Salah satunya memanfaatkan minyak sawit merah yang alami. Yang harus diperhatikan, pemerintah harus berkomitmen untuk mengubah pemakaian minyak goreng dari curah menjadi kemasan.
“Pemerintah jangan lagi mundur dari kewajiban minyak goreng kemasan pada 1 Januari 2020. Sebaiknya diberikan insentif kepada pelaku industri,” ujar Sahat.
Di sisi lain, kata Sahat, minyak jelantah harus dilarang peredarannya karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sahat meminta Kementerian Perdagangan untuk mengawasi peredaran minyak jelantah. Meskipun diakuinya, rencana fortifikasi minyak goreng belum bisa terealisasi, karena masih mengalami banyak perdebatan dari berbagai pihak.
“Untuk itu, program ini butuh dukungan semua pihak termasuk di dalamnya industri dan para pemangku kepentingan,” pungkasnya. YIN