2019, 7 Agustus
Share berita:

Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani karet adalah meningkatkan industri hilir. Kalau hilir sudah berkembang maka Indonesia tidak perlu jadi eksportir bahan baku yang terus menerus dipermainkan pasar. “Saat ini produksi turun akibat terkena penyakit gugur daun cendawan Pestalotiopsis sp, stok dunia juga turun tetapi harga tidak naik,” kata Azis Pane, Ketua Dewan Karet Indonesia.

Masuk hilir harus fokus memilih produk yang jadi unggulan. Malaysia contohnya fokus pada sarung tangan karet (rubber glove). Sekarang hampir di seluruh dunia mulai dari Amerika, Eropa, Asia sarung tangan karet pasti buatan Malaysia.

Thailand sebagai produsen karet nomor satu fokus pada tali elastis karet yang digunakan untuk pakaian. Semua pakaian yang menggunakan tali elastis karet pasti menggunakan produk buatan Thailand. Merek-merek premium dunia seperti Gucci, Luis Vitton juga menggunakan tali elastis karet Thailand.

Sedang Indonesia tidak punya produk unggulan, tetapi masih mengandalkan ekspor bahan baku yaitu karet sheet. “Kita punya potensi besar tetapi masih terganjal oleh sikap sendiri. Contohnya sebuah perusahaan mampu membuat dock fender. Sayangnya pihak pelabuhan membuat spesifikasi dock fender yang berbeda. Akhirnya setiap pembangunan pelabuhan harus mengimpor dock fender sedang yang buatan sendiri malah diekspor. Hal seperti ini yang harus diperbaiki,” katanya.

Saat ini produsen karet dunia nomor satu masih Thailand, sedang Indonesia nomor dua. Nomor tiga adalah Vietnam dengan produksi 900.000 ton tetapi ekspor 1,3 juta ton karena menampung produksi Kamboja dan Laos juga. Nomor empat India kemudian Malaysia.

Baca Juga:  Sawit Masih Tumbuh di Gambut Asal Kelembaban Terjaga