2nd T-POMI
2018, 31 Mei
Share berita:

Tidak selamanya dengan melakukan impor suatu komoditas dapat menekan harga ditingkat konsumen. Mengapa demikian?

Perhitungan yang tepat itulah kuncinya, termasuk dalam menentukan kuota impor gula. Sebab jika tidak dengan perhitungan yang tepat maka impor tersebut tidak akan berdampak apa-apa termasuk untuk meredam harga gula ditingkat konsumen.

Berdasarkan pemantauan Media Perkebunan, saat ini harga gula di beberapa pasar tradisonal menembus angka antara Rp 13.500-14.000 per kilogram. Padahal seharusnya jika mengacu kepada harga eceran tertinggi harga gula hanya Rp 12.500 per kilogram.

“Jadi ada dua hal yang membuat kebijakan tersebut menjadi tidak efektif, yakni volume dan waktu pelaksanaan impor,” kata Novani Karina Saputri, peniliti asal Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

Terbuti menurut Novani, dalam hal ini pemerintah tidak mampu menentukan volume impor gula konsumsi secara tepat. Akibatnya, jumlah gula yang diimpor tidak mampu meredam gejolak harga. Berdasarkan catatan CIPS, impor dan produksi lokal selama kurun 2012-2016 selalu tidak mencukupi kebutuhan.

Kemudian masalah pelaksanannya pun juga begitu. Pemerintah sering melakukan impor saat harga internasional sedang tinggi. Tapi, sangat disayangkan disaat harga international sedang jatuh seperti ditahun 2014 dan 2017 justru tidak melakukan impor.

Disisi lain, masih berdasarkan catatan CIPS, harga gula konsumsi domestik cenderung naik setiap bulan. Pada September 2010, harga rata-rata gula konsumsi tercatat sekitar Rp 10.599,5 per kilogram. Harga itu kemudian meningkat 17,5 persen menjadi Rp 12.455,3 per kilogram pada Februari 2018. Harga itu tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

Melihat catatan tersebut maka alangkah baiknya jika pemerintah memberikan hak penentuan jumlah impor kepada pasar melalui importir yang memiliki lisensi impor.

Baca Juga:  PRESDIR  ID FOOD : MANFAATKAN TEKNOLOGI UNTUK CAPAI SWASEMBADA GULA

Sehingga dengan ketidak mampu menentukan jumlah dan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi. “Untuk itu, diperlukan adanya evaluasi terhadap peraturan pemerintah terkait impor gula konsumsi,” saran Novani.

Sementara itu, Maulana, Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia berpendapat harga eceran tertinggi gula sulit dijalankan oleh para pedagang eceran. Ini karena pedagang (gula-red) takut melihat pengalaman beras yang ternyata di lapangan HET tak berjalan. Karena ternyata yang ditemukan HET menekan petani lokal sehingga supply justru menurun.

Terbukti, saat ini harga gula di tingkat pasar tradisional diantara Rp 13.500-14.000 per kilogram. Namun, harga tersebut berbeda dengan gula pasar modern.

Penyebab perbedaan harga tersebut karena pedagang kecil tidak mampu membeli gula dengan stok yang banyak. Sebab untuk mendapatkan gula dengan harga miring minimal pembeliannya cukup besar sehingga pedagang biasa tidak mampu membelinya.

“Berbeda dengan pedagang pasar tradisional yang harus bayar di depan, stok baru masuk. Mereka enggak punya gudang yang besar jadi tidak punya kekuatan untuk menawar atau diskon. Ini menyebabkan program pemerintah di pasar tradisional susah dilaksanakan,” keluh Maulana.

Begitu juga di bulan Ramadhan, Maulana mengakui, di bulan Ramadhan, kenaikan harga gula merupakan masalah yang pasti terjadi di setiap tahun seperti sebuah siklus.

“Dari dulu juga seperti ini kondisinya. Setiap mau puasa, lebaran harga selalu naik. Pemerintah impornya juga dekat-dekat Lebaran. Padahal itu kebutuhan yang sudah bisa dihitung. Ini aneh,” geram Maulana.

Disisi lain, Maulana membenarkan bahwa pedagang tidak merasakan dampak dari gula impor. Apalagi, pedagang pasar sulit untuk mengakses gula tersebut. Padahal seharusnya pedagang bisa membeli gula secara langsung ke Perum Bulog.

Baca Juga:  PTPN X Salurkan Bantuan Normalisasi Patusan untuk Warga Tulungagung

Namun, karena ada ketentuan minimal order yang sulit untuk dipenuhi oleh pedagang kecil. Akhirnya pedagang dari pasar tradisional tidak mampu membelinya dan hanya pedagang yang skala besar yang mempu membeliya.

“Jadi minimal (bisa) membeli dua ton. Bagaimana mungkin, kios pedagang saja cuma 2×3 meter,” keluh Maulana.

Bahkan, Maulana juga menyayangkan, meski ada kebijakan HET untuk gula kristal putih (GKP) yang dijual untuk konsumen seharga Rp 12.500 per kilogram, hingga kini tetap saja tidak ada penurunan haraga. Alhasil, pratek dilapangan harga gula konsumsi yang dijual dipasar rata-rata diatas HET atau Rp 12.500 per kilogram.

Tingginya harga yang dijual ditingkat konsumen lebih karena struktur biaya produksi gula di Indonesia memang lebih tinggi dibanding negara lain. Penyebabnya karena tingkat efisiensi pabrik gula (PG) di Indonesia yang masih jauh dari standar.

“Pabrik gula kita banyak yang sudah beroperasi dari zaman Belanda. Sehingga ada gap (selisihnya) jauh,” papar Maulana.

Sebelumnya, Colosewoko, Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) juga mempertanyakan penetapan harga referensi untuk dibeli Perum Bulog. Perum Bulog membeli dari petani dengan harga Rp 9.100 per kilogram yang kemudian direvisi menjadi Rp 9.700 per kilogram.

“Namun yang menjadi pertanyaan adalah penetapan harga tersebut tidak ada penjelasan yang lebih detail seperti penetapan HPP (harga pokok penjualan) sebelumnya. Bolehkah pedagang lain membeli diatas atau dibawah harga itu, bila Bulog tidak membeli?” Tanya Colosewoko.

Bahkan, Lanjut Colosewoko, penetapan pembelian gula oleh Bulog tersebut diikuti dengan ketentuan yang boleh menjual dalam bentuk curah ataupun karungan hanyalah Perum Bulog. Disinilah timbul masalah, karena Bulog pada kenyataannya tidak bisa beroperasi dengan cepat.

Baca Juga:  India Dukung Industri Sawit Berkelanjutan

“Jadi bagaimana dengan pedagang yang ingin menjual karena ketentuan yang bisa menjual curah hanyalah Bulog, tapi Bulog sendiri operasi yang dijalankan nya lambat” risau Colosewoko.

Kemudian, imbuh Colosewoko, yaitu masalah ketentuan harga eceran tertinggi (HET) ditingkat konsumen dengan harga Rp 12.500 per kilogram. Semua merek gula tertinggi diangka Rp 12.500 per kilogram dan ini berpengaruh juga kepada pendapatan petaani.

“ Akibatnya, menimbulkan kondisi dimana petani tidak termotivasi menanam tebu,karena tidak berdaya saing,” pungkas Colosewoko. YIN