2016, 14 November
Share berita:

Sertifikasi ISPO yang baru mencapai 10 persen akibat terganjal perijinan mencerminkan rendahnya kehadiran negara dalam menghadirkan solusi pada perkebunan sawit.

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan kebijakan nasional keberlanjutan (sustainability) yang diberlakukan khusus pada perkebunan kelapa sawit. ISPO memiliki beberapa aspek yakni Kebijakan dan Legalitas, Best Manajamen Practices (BMP), Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. Aspek Kebijakan dan Legalitas merupakan ranah otoritas pemerintah, sedangkan aspek lainnya tersebut merupakan ranah pelaku usaha perkebunan sawit.

Secara umum konsep sustainability yang dikenal umum adalah perpaduan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan yang dikenal pula sebagai 3-P (Profit, People, Planet). Berbeda dengan konsep umum susutainability tersebut, ISPO dikembangkan lebih luas dengan memasukkan aspek kebijakan/politik, sehingga dalam ISPO mengadopsi 4-P (profit, people, planet, politic). Konsep 4-P ini juga diadopsi di Eropa meskipun tidak dilakukan sertifikasi seperti ISPO.

Dengan konsep 4-P ISPO yang demikian, maka implementasi dan capaian sertifikasi ISPO merupakan kinerja sinergitas pemerintah dan pelaku usaha. Meskipun pelaku usaha dapat memenuhi nilai maksimum dari aspek BMP, Sosial, dan Lingkungan, jika Pemerintah tidak menjalankan tugasnya yakni aspek Kebijakan dan Legalitas, maka mustahil sustainability dan sertifikasi ISPO akan tercapai.

Menurut Kementerian Pertanian, sejak ISPO diluncurkan tahun 2011 sampai saat ini, jumlah perusahaan perkebunan sawit yang telah memperoleh sertifikasi ISPO berjumlah 184 perusahaan dengan total luas sekitar 1,3 juta hektar setara produksi CPO 6,4 juta ton. Hal ini berarti baru sekitar 10 persen dari luas kebun sawit atau sekitar 20 persen produksi CPO nasional yang telah memperoleh sertifikasi ISPO. Selain sekitar 4,5 juta hektar kebun sawit rakyat yang belum memperoleh sertifikat ISPO, masih ada sekitar 5 juta hektar kebun swasta dan BUMN yang belum berhasil memperoleh sertifikat ISPO.

Baca Juga:  ICOPE 2016, Pertemuan Pelaku Sawit Menuju Berkelanjutan

Dari penelusuran, diperoleh informasi bahwa penyebab belum diperolehnya sertifikasi ISPO adalah bukan karena tidak mengajukan proses sertifikasi dan juga bukan karena belum terpenuhinya aspek BSM, sosial, ekonomi maupun lingkungan. Sebagian besar penyebabnya adalah terkait dengan perijinan dari pemerintah seperti bukti SK pelepasan kawasan, HGU dan perijinan lainnya yang semuanya terkait dengan otoritas dan layanan pemerintah.

Karena semua legalitas merupakan otoritas pemerintah dan tidak dapat dikeluarkan lembaga lain, maka pemerintahlah yang menyelesaikannya. Bukti pelepasan kawasan misalnya, sebagian besar kebun sawit BUMN dan sebagian kebun swasta telah dibangun pada masa Orde Baru yakni sebelum UU Kehutanan (UU 41/1999) dan Undang-Undang tata ruang (UU 26/2007) diberlakukan.

Bahkan sebagian sudah dibangun sebelum NKRI terbentuk. Sebagaimana diketahui pada masa Orde Baru, pelepasan kawasan/konversi kawasan hutan menjadi non hutan dilakukan atas kebijakan pemerintah dalam satu kesatuan dan bukan atas permohonan dunia usaha untuk satu perusahaan saja. Sehingga bukti pelepasan kawasan setiap perusahaan banyak yang tidak memilikinya. Seharusnya pemerintah memperhatikan realitas yang demikian dan melakukan terobosan kebijakan untuk menghadirkan solusi.

Setelah era reformasi (tahun 2000) khususunya setelah otonomi daerah diberlakukan kekacauan kewenangan untuk konversi kawasan maupun perijinan usaha makin parah. Pedulum kewenangan pada era otonomi daerah bergerak secara ekstrim dari satu kutub ke kutub lain. Perijinan yang sebelumnya diberikan pemerintah daerah dikemudian hari dinilai tidak berlaku para masa berikutnya.

Apapun kondisinya dan kerumitannya seharusnya negara melalui Pemerintah harus hadir menyelesaikan masalah. Konstitusi dasar mengamanahkan pemerintah harus hadir melindungi setiap warga negara. Membiarkan masalah perijinan mengambang, selain menciptakan ketidakpastian hukum, juga mengundang mafia dan kegaduhan perijinan yang menunjukkan ketidakhadiran negara dan pemerintah itu sendiri.

Baca Juga:  DITJENBUN DORONG EKSPOR KECAMBAH KELAPA SAWIT

Jika saat ini baru 10 persen yang memperoleh sertifikasi ISPO dan sebagian besar masalahnya adalah terkait perijinan, pemerintah dianjurkan lebih proaktif membantu menyelesaikannya. Pemerintah jangan memasung pelaku perkebunan termasuk sawit rakyat dengan menahan perijinan. Perijinan bukan kekuasaan melainkan pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Sumber: indonesiakita.or.id/YIN