Jakarta, Mediaperkebunan.id
Biaya PSR dengan jalur kemitraan selama ini dikesankan lebih tinggi dari mandiri. Biaya pembangunan lebih tinggi dan perusahaan mitra cenderung menggunakan pinjaman komersial sehingga utang petani bertambah.
Ketua Umum GAPKI, Edy Martono menepis anggapan ini. “Dana dari BPDPKS sama dengan jalur apapun Rp30 juta/ ha. Dana sebesar ini tidak cukup. Kurangnya harus ada kesepakatan antara perusahaan dengan petani. Kalau menggunakan kredit komersial pasti lebih mahal karena bunganya lebih tinggi. Kalau menggunakan kredit program seperti KUR pasti lebih murah karena bunganya rendah,” kata Edy.
Tidak mungkin perusahaan sebagai mitra mengambil untung dari tingginya bunga. Perusahaan sebagai avalis malah yang diminta pertangungjawaban kalau ada apa-apa.
Perusahaan juga tidak akan memaksa petani mengambil kredit komersial. Kalau koperasi punya dana sendiri silakan saja, atau kalau ada program pemerintah yang terkait dengan hal ini dengan menggunakan dana APBN. Petani juga diuntungkan karena tidak ada utang dari bank. Tinggal koperasi berurusan dengan anggotanya.
“Kita malah lebih senang karena misalnya KUD sudah kaya dan mumpuni, kita tinggal jadi mitra offtaker saja. Pekerjaan kita menjadi lebih ringan,” katanya.
Kemitraan yang menjadikan perusahaan sebagai avalis pasti akan membangun kebun plasmanya dengan kualitas yang sama dengan inti. Kalau dibangun asal-asalan sehingga produksinya rendah, perusahaan pasti akan rugi. Perbankan pasti akan minta pertanggungjawaban perusahaan bila kebunnya tidak mencapai target.
Target PSR kemitraan yang semula 80.000 ha dinaikkan jadi 100.000 ha, sedang lewat jalur dinas turun dari 100.000 ha menjadi 80.000. “Kita tidak janji bisa capai target 100.000 ha, karena waktunya tinggal 5 bulan lagi. Tidak mungkin dalam waktu sependek ini mengejar 100.000 ha. Kita mengoptimalkan apa yang bisa kita kerjakan sekarang. Contohnya Riau bisa dikerjakan tahun ini, kita akan launching PSR Kemitraan Riau September mendatang,” katanya.
GAPKI baru-baru ini mengadakan rakernas dengan mengumpulkan semua cabangnya. Dari hasil ndentifikasi ada 200.000 ha plasma anggota yang harus diremajakan. Tidak mungkin 200.000 ha dikerjakan semua tahun ini, paling tidak bisa keluar rekomteknya sedang pengerjaannya bisa tahun depan.
Meskipun plasma, bukan berarti tidak ada kendalanya. PKS tanpa kebun menjadi masalah tersendiri karena banyak kemitraan bubar akibat plasma memilih penjualan TBS ke PKS ini karena harga belinya dianggap lebih tinggi. Padahal bisa saja timbangannya dimainkan, kontrol kualitasnya seperti apa. Uniknya bla harga TBS di PKS tanpa kebun rendah, plasma kembali menjual ke PKS kebun inti.
Kendala lainnya adalah perubahan kepemilikan lahan. Tadinya milik si A, dijual ke si B, kemudian dijual lagi ke si C. Di inti masih tertulis atas nama si A maka harus diverifikasi lagi oleh Sucofindo. Mitra yang sudah lari juga harus dikumpulkan lagi.
“Kendala tetap ada tetapi dibanding petani swadaya mungkin lebih ringan. Petani swadaya kebun terpencar-pencar sedang plasma satu hamparan karena dibangun oleh inti ,” kata Edy lagi.
.