2017, 21 Maret
Share berita:

Peraturan Pemerintah (PP) 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut perlu memiliki dasar ilmiah terutama pada substansi pengaturan. PP tanpa dasar ilmiah berakibat pada substansi pengaturan yang tidak tepat, sulit bahkan tidak bisa diimplementasikan.

Hal tersebut diungkapkan oleh beberapa akademisi Universitas di Indonesia. Diantaranya pakar Gambut Institut Pertanian Bogor (IPB) Saiful Anwar, Ketua Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Budi Mulyanto, Peneliti dari Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) Winarna dan Kepala Bagian Tanaman PT Socfin Indonesia Edison P Sihombing.

Pemerintah, kata Saiful Anwar, perlu mendengar suara mayoritas Perguruan Tinggi di Indonesia yang menuntut penting dasar ilmiah dalam penetapan PP. Hal ini agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Aturan tanpa dasar ilmiah, pasti mendapat penolakan terus menerus dari masyarakat, perguruan tinggi dan dunia usaha.

Salah satu aturan yang tidak memiliki dasar ilmiah dan perlu direvisi menyangkut penerapan muka air (water level) 40 cm. Perkebunan sawit di lahan gambut tidak akan bertahan jika dipaksa menerapkan water level 40 cm.

“Artinya bila dipaksakan, perakaran sawit akan terendam, hasil produksi turun secara signifikan dan dalam jangka waktu tidak lama sawit mati,” jelas Saiful

Pendapat senada dikemukakan Budi Mulyanto. Dia menilai, penetapan batas 40 cm muka air sebagai indikator kerusakan gambut sangat tidak tepat. Selain tak memiliki dasar ilmiah, aturan itu tidak mungkin diimplementasikan.

“Apalagi, batasan kerusakan itu berbeda dengan fakta di lapangan. Selama ini sawit bisa tumbuh dengan produktivitas sangat baik serta kondisi lahan gambut tetap terjaga baik tanpa aturan itu,” ungkap Mulyanto.

Dalam hal ini, baik Saiful maupun Mulyanto menyebutkan pembatasan muka air gambut 40 cm tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon dan pencegahan kebakaran seperti yang didengung-dengungkan pemerintah.

Baca Juga:  Perluas Mandatori Biodiesel,Hemat Devisa dan Emisi

Budi berpendapat, seharusnya pemerintah memperkuat aturan mengenai pencegahan kebakaran hutan dan lahan daripada menerbitkan PP baru yang cenderung dipaksakan dan mengada-ngada.

”Aturan ini lebih kental nuansa politisnya dibandingkan sebagai satu kebijakan yang mampu mendukung kesejahteraan masyarakat,” jelas Mulyanto.

Sementara itu Winarna berpendapat, PP 57/2016 sulit diimplementasikan karena muka air tanah berfluktuasi. Sejak lama, banyak masukan untuk merevisi aturan tersebut. Sayangnya hingga penerbitan PP 57/2016 sebagai pengganti PP 71/2015 tidak ada perubahan yang signifikan.

Menurut Winarna, jauh sejak sebelum munculnya PP itu, perkebunan sawit berusaha ‘mati-matian’ untuk mengelola muka air tanah dan mempertahankan kelembaban tanah. Upaya itu, berdampak pada daya dukung gambut terhadap produktivitas tanaman budidaya dan kelestarian. Dari sisi lingkungan, dengan muka air tanah 70 cm, emisi karbon masih lebih rendah dari standar IPCC sebesar 40 CO2 ton/ha/tahun.

Di banyak perkebunan, kata dia, sejak lama diterapkan best management practices diantaranya melalui tata kelola air dan pemadatan, sehingga ada jaminan yang cukup besar untuk kelestarian gambut dan produktivitas pertanian.

Kepala Bagian Tanaman PT Socfin Indonesia, Edison P Sihombing berpendapat, pandangan budidaya di lahan gambut tidak lestari dan tak bertanggungjawab tidak tepat.”Kami mempunyai pengalaman budidaya di lahan gambut secara lestari selama lebih dari 100 tahun,” kata Sihombing.

Perkebunan PT Socfin Indonesia yang sebagian besar sahamnya dimiliki perusahaan Belgia kemudian beralih ke konglomerat Perancis di Negeri Lama, telah menerapkan tata air yang sangat baik untuk mendukung optimalisasi produktivitas lahan. “Pintu-pintu air dan sekat kanal telah dibangun sejak lama, dan ini sangat efektif untuk menjaga muka air tanah sesuai yang diharapkan untuk optimalisasi.”

Sihombing mengungkapkan, jika PP 57/2016 jika dipaksakan, produktivitas kebun sawit akan turun drastis karena kondisi lahan yang sangat basah dan perakaran sawit menjadi sangat terganggu. “Muka air kurang dari 40 cm sudah pasti tidak bisa diterapkan. Idealnya, muka air untuk perakaran sawit berkisar 60-70 cm,” pungkas Edison. YIN

Baca Juga:  Komoditas Tembakau Harus Terintegrasi