2nd T-POMI
2016, 22 Januari
Share berita:

Semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin yang menerpa, begitulah yang terjadi pada industri kelapa sawit tahun 2016.

Memang harus diakui bahwa industri kelapa sawit hingga kini masih menjadi industri yang seksi. Namun karena keseksian tersebutlah justru banyak pihak yang mengganggunya. Bahkan ditahun 2016, gangguan terhadap industri kelapa sawit semakin besar.

Satu diantaranya yaitu harga minyak sawit yang semula diperkirakan akan membaik pada tahun 2016, tapi kemungkinan justru akan tergelincir ke arah yang lebih rendah seiring dengan dinamika global yang menekan harga minyak bumi (petroleum).

2016, Harga Masih Merosot?

Seperti harga minyak bumi cenderung berada dibawah USD 35/barel. Seiring dengan itu harga crude palm oil (CPO) pun tidak akan beranjak naik diatas USD 650 CIF Rotterdam. Meski begitu ada banyak pihak yang memprediksi harga minyak sawit CPO akan membaik ke sekitar USD 700 pada kuartal kedua 2016 dengan harapan harga minyak bumi akan rebound.

“Memang, harga minyak bumi yang tertekan, ini mengakibatkan penggunaan biodiesel di negara maju yang berasal dari minyak nabati seperti rapeseed dan minyak kedelai akan berkurang,” jelas Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

Maka dalam hal ini, Derom menegaskan, jika penggunaan biodiesel di Indonesia masih memperbandingkan harga MOPS adalah kekeliruan besar. Hal ini karena jika dilihat lebih jauh bahwa penggunaan bahan bakar nabati atau biodiesel di Indonesia lebih kepada penurunan gas emisi sesuai dengan kesepakatan COP 21 di Paris yang baru lalu.

“Jadi apakah ketentuan B20 akan terealisasi atau tidak, semuanya ditentukan oleh kesadaran bangsa ini. Sehingga kalaupun terjadi harga CPO tergelincir pada tahun 2016, industri sawit Indonesia tetap bertahan karena penggunaan biodiesel semakin besar mengikuti ketentuan B20,” saran Derom.

Baca Juga:  FP2SB : KETERLIBATAN SWASTA BANTU RAKYAT SANGAT POSITIF BAGI SAWIT INDONESIA

Disisi lain, Derom memperkirakan, bahwa produksi tahun 2015 hanya mencapai 30,9 juta ton CPO, atau turun dari target target sebelumnya sebanyak 31 juta ton CPO. Artinya produksi tahun 2015 ini tidak jauh berbeda dengan produksi di tahun 2013 yang berada diangka 30 jutaan ton CPO. Bahkan, jika melihat data terakhir besar kemungkinan produksi 2015 hanya bisa dicapai pada angka 30,8 juta ton. Meski begitu, pelaku industri tetap optimis bahwa produksi ditahun 2016 ini bisa menembus angka 33 juta ton.

Pungutan Dana Harus Kembali

Maka melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)-Kelapa Sawit dipertengahan tahun 2015 dengan pengenaan dana pungutan pada eksportir industri kelapa sawit tergantung jenisnya maka diharapkan ada dampak terhadap perubahan harga CPO. Sebab pungutan yang dilakukan oleh BPDP-Kelapa Sawit akan digunakan untuk replanting, penelitian, pengembangan sumber daya manusia, subsidi biodiesel dan promosi.

“Dengan demikian diharapkan juga harga CPO pada periode berikutnya akan naik yang pada akhirnya bermuara pada kenaikan harga TBS pada petani,” harap Derom.

Lebih lanjut, Derom menudukung adanya pungutan tersebut dengan catatan agar pungutan tersebut dapat digunakan dengan maksimal untuk kepentingan pelaku kelapa sawit termasuk petani. Seperti diketahui saat ini sudah banyak lahan milik petani yang sudah tua, sehingga perlu dilakukan replanting.

Selain replanting, yang tidak kalah pentig dan sering dilupakan yaitu dana untuk riset. Padahal ada banyak manfaat dan saat ini belum dilaksanakan secara maksimal terhadap industri kelapa sawit.

Disisi lain, saat ini Malaysia yang juga sebagai negara penghasil CPO sangat serius didalam melakukan riset. Akibatnya. Tidaklah heran jika produk hilir atau turunan dari CPO lebih besar dari Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar didunia.

Baca Juga:  IPOSC, HASIL KOLABORASI POPSI DAN BPDPKS, HARUS MEMBUAT PETANI SEMAKIN MAJU

Memang perusahaan di Indonesia untuk riset sudah dilakukan secara maksimal bahkan perusahaan sudah menganggarkan sebesar 3% dari total anggaran pengeluaran dikeluarkan untuk riset. Tapi itu baru untuk perusahaan saja, bukan pada lembaga riset yang dilakukan oleh pemerintah.

“Melihat hal ini kami berharap dari hasil pungutan yang dilakukan oleh BPDP-Kelapa sawit, sebanyak 2,5%-nya dikeluarkan untuk melakukan riset,” himbau Derom. YIN

Baca juga : GAPKI MINTA SUBSIDI B20 DIEVALUASI