Serdang Berdagai, Mediaperkebunan.id
Salah satu materi yang disampaikan pada Socfindo Customer Gathering & Sharing di Socfindo Seed Production and Laboratories, Bandar Bangun, Serdang Berdagai, Sumut adalah bagaimana mengantisipasi dan mengatasi low fruit set yang disampaikan oleh Dadang Afandi.
Periodesasi fruit set : tahun 1980 pada saat pengembangan tanaman kelapa sawiit dan penggunaan benih unggul diatasi dengan diintroduksi Elaeidobius kamerunicus; tahun 1990 saat booming pembukaan areal perkebunan kelapa sawit dan perkembangan pemuliaan kelapa sawit diatasi dengan asisted polination; tahun 2010 penanaman kebun kelapa sawit dalam areal luas dan tumbuhnya produsen benih kelapa sawit diatasi dengan pembentukan konsorsium fruit set; tahun 2020 ada program peremajaan sawit dan penggunaan bahan tanaman unggul tahan ganoderma coba diatasi dengan reintroduksi kumbang penyerbuk.
Kriteria seleksi utama untuk mendapatkan varietas unggul adalah produksi tinggi dengan karakter seleksi produksi TBS 36 ton/ha/tahun dan OER 26%. Setelah itu baru pertumbuhan tinggi yang lambat dan ketahanan penyakit.
Hasil penelitian Socfin menunjukkan untuk meningkatkan produksi CPO caranya adalah meningkatkan produksi TBS dibandingkan meningkatkan OER; meningkatkan produksi TBS dilakukan dengan meningkatkan jumlah tandan/pohon dibanding berat tandan. Tanaman kelapa sawit yang berproduksi tinggi karena mempunyai jumlah tandan yang tinggi dan kecil-kecil dibangdingkan dengan jumlah tandan sedikit tetapi besar-besar.
Pada kelapa sawit umur 6-9 tahun produksi terbesar pada pohon yang tandanya sedang dibanding yang tandanya besar. Dari 300 persilangan di Socfindo produksi tertinggi dari tanaman kelapa sawit yang jumlah tandanya banyak dan kecil.
Tanaman kelapa sawit merupakan monoceous sehingga jumlah janjang yang banyak pada tanaman yang berproduksi tinggi secara tidak langsung meniadakan bunga jantan yang dibutuhkan untuk penyerbukan. Produksi terbentuk karena ada polinasi, low fruit set menunjukkan tidak terjadi polinasi.
Aktor polinasi adalah : bunga jantan sebagai sumber tempat tepung sari dan berkembang biaknya kumbang EK; kumbang penyerbuk sebagai perantara terjadinya polinasi; iklim mempengaruhi aktivitas kumbang penyerbuk dan viabilitas polen. Faktor penyebab kegagalan polinasi adalah iklim, kultur teknis, lingkungan dan bahan tanaman.
Faktor bahan tanaman adalah tidak seimbangnya antara populasi kumbang penyerbuk dan jumlah bunga betina yang akan disebuk. Faktor kultur teknis high density, pengendalian kimia yang berlebihan, serangan tikus, tunasan (pruning). Faktor lingkungan daerah rendahan (tertutup), kondisi areal kebun terlalu subur; tanaman/lingkungan disekelilingnya; areal peremajaan yang sangat luas. Faktor iklim curah hujan, suhu ekstrim.
Mengantisipasi friut set rendah menghindari peremajaan dalam skala luas. Dengan peremajaan skala luas dan dilakukan rutin setiap tahun akan mengurangi ratusan juta populasi kumbang EK dan puluhan ribu tempat berkembang biaknya. Sementara penanaman baru secara luas sangat membutuhkan EK yang sangat banyak.
Pengaturan pola dan komposisi tanam dalam peremajaan harus diatur sedemikian rupa sehingga tetap meninggalkan tanaman tua sebagai sumber populasi EK. Bisa juga dengan pola tanam berdampingan atau pengaturan secara proposional dengan varietas yang cukup bunga jantan.
Bisa juga dengan menanam supermale, yaitu tanaman yang khusus menghasilkan bunga jantan sehingga kebutuhan polen dan kumbang EK terpenuhi. Saat ini masih digunakan sendiri di kebun Socfin menunggu hasil penelitian lengkap sebelum diajukan ke penialaian varietas Ditjenbun untuk bisa dijual secara komersial. Kultur teknis yang tepat adalah ideal density, pengendalian dan pencegahan hama secara biologis, kontrol hama tikus, manajemen tajuk (tunasan dan panen).