2024, 11 Mei
Share berita:

Bandung, Mediaperkebunan.id

Permasalahan petani sawit hampir sama dengan korporasi sawit terkait kawasan hutan dan regulasi. Legalitas lahan petani sawit yang total 6,87 juta ha , hanya 8,5% yang memiliki SHM, sisanya dalam bentuk surat keterangan tanah yang diterbitkan kepala desa.  Sekitar 2,16 juta ha terjebak dalam kawasan hutan (baik yang sudah SHM maupun masih surat keterangan kepemilikan dari kelapa desa) Gulat Manurung, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia menyatakan hal ini.

Produktivitas kebun petani masih 25-50% dari yang seharusnya. Cluster produktivitas kebun rakyat produksi 1,2-1,6 ton TBS/ha/bulan 800.000 ha, produksi 0,8-1,1 ton/TBS/ha/bulan 1,2 juta ha, produksi 0,4-0,7 ton TBS/ha/bulan 3,2 juta ha, sisanya 1,6 juta ha masuk dalam kelompok tanaman umur tua dan tanaman belum menghasilkan. Dua golongan terakhir yang krusial dan mendesak diremajakan.

Petani sawit sama sekali tergantung kepada Pabrik Kelapa Sawit milik korporasi, karena tidak satupun petani memiliki PKS. Industri refinery khususnya minyak goreng , 100% dikuasai korporasi.

Keberpihakan regulasi kepada petani sawit sangat minim. Banyak sekali muncul regulasi tanpa pengetahuan petani sawit dan cenderung bertentangan dengan visi misi Presiden. Sebagai informasi bahwa regulasi tersebut dirancang oleh LSM.

Program strategis Presiden Jokowi sektor perkebunan sawit rakyat, seperti PSR selalu dikacaukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan ATR/BPN karena syarat mengikuti PSR adalah harus bebas dari kawasan hutan dan tidak tumpang tindih dengan izin HGU/HPH , sementara KLHK selalu mengklaim kawasan hutan kebun sawit petani dan klaim tumpang tindih lainnya.

BPDPKS  bisa mengumpulkan dana sampai Rp45 triliun, tetapi petani sangat minim memanfaatkannya, serapan hanya Rp1-1,2 triliun. Hal ini karena ribetnya persyaratan yang ditetapkan Kementan dan BPDPKS terkait program-program terkait perkebunan sawit rakyat.

Baca Juga:  Di Balikpapan Apical Lanjutkan Vaksin Gotong Royong

Resolusi tuntas petani sawit Indonesia sertifikatkan kebun petani sawit oleh BPN. Eksisting tertanam sejak 2020, KLHK harus mengakui kebun sawit tersebut sudah clear. Segera luncurkan program wajib replanting kebun sawit yang produktivitas dibawah 1,2 ton TBS/ha/bulan atau rendemen CPO dibawah 3 ton CPO/ha.

Segera replanting kebun yang produktivitasnya rendah dengan menggunakan dana BPDPKS serta naikkan biaya tanggungan PSR dari Rp30 juta/ha  menjadi Rp55-60 juta/ha. Sinkronkan program PSR dengan ISPO)Segera dirikan PKS skala mini dan UMKM (home industri). Segera wajibkan koperasi grade A untuk mendirikan Pabrik Minyak Goreng untuk kebutuhan minyak kita.

Setiap akan ada regulasi baru supaya melibatkan petani sawit dalam pembahasannya. Segera revisi Perpres ISPO yang bersifat ISPO relatif dan revisi Permentan 01 tahun 2018 tentang tata niaga TBS yang hanya melindungi petani plasma, sementara petani sawit swadaya tidak masuk dalam perlindungan. Permentan tidak menyebut petani swadaya padahal luasnya 93% dari total luas kebun sawit rakyat sedang plasma hanya 7%.

Program Strategis Nasional terkait sawit harus diberikan affirmasi bagi petani sawit, khususnya yang mau PSR. Kegagalan peserta PSR 84% karena campur tangan KLHK dan ATR/BPN. Sederhanakan syarat penggunaan dana BPDPKS yang cenderung mengada-ada.

Stabilkan harga CPO Indonesia dengan mewajibkan semua korporasi sawit menjual/beli CPOnya di Bursa CPO Indonesia.  Berikan wewenang penuh kementerian mengatur sawit menjelang berdirinya Badan Sawit Indonesia. Tempatkan pejabat di Kementan yang memahami tugasnya, bukan untuk dilayani.