Sagu saat ini yang paling siap untuk dijadikan bahan utama diversifikasi pangan. Industri olahannya sudah ada dan berkembang , juga bisa tersedia di pasar dengan harga yang bisa bersaing. Agung Hendriadi, Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian menyatakan hal ini pada talk show diversifikasi pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Tahun 2018 diversifikasi pangan tidak lagi dalam bentuk seminar, lokakarya, gerakan , kampanye tetapi melalui aksi langsung dalam bentuk upaya khusus diversifikasi pangan. Dalam upsus ini sudah ada realiasai pangan olahan seperti apa dan tersedia di pasar.
“Dalam upsus ini pasti terjadi kenaikan permintaan pangan lokal. Saat ini yang siap bila ada terjadi lonjakan permintaan baru sagu. Pangan lokal lain akan didorong melalui Kawasan Rumah Pangan Lestari,” katanya.
Eniya Listiani Dewi, Deputi Kepala BPPT bidang Agroindustri dan Bioteknologi menyatakan pihaknya sudah membuat produk beras sagu dan mie sagu yang pasarnya bukan saja untuk dalam negeri tetapi ekspor juga. Pendekatannya untuk kesehatan yaitu kaya serat pangan, bebas gluten, rendah indeks glikemik (IG), tinggi resistant strach, cocok untuk diet dan baik untuk penderita penyakit gula.
“Nasi dan mie sagu ini harusnya dijadikan sumber karbohidrat bagi penderita diabetes melitus dan jantung di rumah sakit. Bebas gluten dan rendah indek glikemik merupakan keunggulan utamanya,” katanya.
Bagi yang berminat menjadi produsen mie dan beras sagu, BPPT sudah merekayasa mesin pembuat mie dan beras analog. Mesin ini sudah diproduksi oleh PT Barata. Saat ini sudah digunakan 28 UKM di 22 kabupaten.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang diwakili oleh Hasil Sembiring, ahli peneliti utama Pusat Penelitian Tanaman Pangan, menyatakan potensi sagu sebagai pangan lokal tersebar Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Tenggara, Papua dan Papua Barat.
Keunggulan pangan lokal seperti sagu ini adalah dapat tumbuh di lahan suboptimal di mana padi sulit tumbuh; memiliki indeks glikemik yang lebih rendah daripada beras; kebutuhan input seperti pupuk dan pestisida minim; kandungan gizi dapat saling melengkapi agar beragam dan seimbang. Balitbangtan sudah membuat model diversifikasi sagu di Kehiran, Papua.