2nd T-POMI
2019, 19 Juli
Share berita:

Saat ini 60% CPO yang dihasilkan PTPN V berasal dari buah non inti, baik dari plasma maupun pihak ketiga. Kondisi ini tidak ada di PTPN lain,karena merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan bisa menimbukan masalah dalam pembelian bahan baku.

“Butuh kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas menghadapi pasar karena marginnya tipis. Good Corporate Governance merupakan suatu keharusan karena sangat penting untuk mendisiplinkan sortasi, pembayaran dan sebagainya. Dibutuhkan suatu sistem agar jangan sampai kita targetkan pembelian TBS cukup tinggi, tapi produksi inti turun. Ini terjadi pada salah satu PTPN, karena ada buah pihak ketiga rasa inti. Begitu kran pembelian buah dari pihak ketiga dibuka, produksi inti malah kurang karena diambil dan dijual ke PKS sendiri seolah-olah dari pihak ketiga. Sangat tidak mudah menghadapi situasi di lapangan seperti ini,” kata Jatmiko K Santosa, Direktur Utama PTPN V dalam perbicangan dengan Perkebunannews.com.

PTPN V yang memiliki komposisi buah non inti terbesar dibanding PTPN lain, adalah sebuah kekuatan tersendiri. Saat ini bagi PTPN menambah lahan untuk ekstensifikasi tidak mudah apalagi di Sumatera. Kalau mau ekspansi maka harus ke Kalimantan, Papua, sedang di Sumatera tidak mungkin padahal buah paling banyak disini. PTPN V berhasil di sini dengan menampung buah yang banyak ini.

Meskipun 60% CPO berasal dari buah non inti, namun 100% CPO yang dihasilkan dari 12 PKS PTPN V sudah bersertifikasi ISPO. Khusus untuk pasar Eropa, 3 PKS sudah bersertifikat RSPO dan 5 PKS ISCC.

“Dalam situasi black campaign atas CPO yang secara konsisten dan persisten dilancarkan oleh negara-negara maju yang tidak mampu memproduksi minyak kelapa sawit, langkah pemerintah untuk memanfaatkan CPO bagi pasar dalam negeri melalui biofuel menjadi sebuah keniscayaan. Untuk biofuel dalam negeri, spesifikasi CPO yang diperlukan tidak serumit untuk ekspor. Untuk itu penting bagi PTPN V memiliki porsi dari sebuah fasilitas biofuel refinery, sehingga mampu menjaga portofolio ekspor dan domestik secara baik,” katanya.

Baca Juga:  Komoditas Tembakau Harus Terintegrasi

Data yang diperoleh bahwa skala ekonomi biofuel tercapai kalau bisa kontinyu dan konsisten memasok 500.000 ton CPO/tahun, sedang produksi PTPN V masih dibawahnya.

“Karena itu untuk mencapai skala ekonomi sekaligus menjaga portofolio harus ada penambahan produksi. Karena menambah lahan sulit maka yang bisa dilakukan adalah bekerjasama dengan para petani dalam pola plasma. Kemampuan 60% CPO dari plasma dan pihak ketiga diharapkan mampu menarik petani yang belum jadi plasma untuk bergabung dengan kami” katanya.

Sekarang tanpa menambah plasma saja ada 60% buah dari kebun non inti. Ini kalau tidak dikelola dengan benar maka bisa berdampak pada kinerja perusahaan secara significant. Pengelolaan dikatakan baik apabila sudah memiliki sistem dan tidak tergantung pada individu.

“Kelangkaan akan sebuat sistem yang terstruktur adalah weakness PTPN yang utama, kinerja banyak tergantung pada kemampuan dan interest individu yang memimpin unit-unit produksi PTPN,” katanya.

Langkah pertama adalah konsolidasi internal dengan membentuk unit khusus plasma dan KKPA. Sebenarnya dari dulu sudah ada tetapi lebih diberdayakan lagi. Unit ini dipimpin direktur muda (Vice President), posisinya diatas General Manager dan sudah punya pasukan yang ada dibawah.

“ Plasma ini kita garap dengan serius. Harus ada perubahan paradigma di lingkup PTPN V karena lebih separuh buah berasal dari pihak ketiga sekaligus untuk memenuhi target dan rencana ke depan. Keseriusan ini menjadi aksi nyata untuk memperkuat orientasi pada konsumen yang juga menjadi salah satu titik lemah PTPN,” kata Jatmiko lagi.