2nd T-POMI
2016, 17 Mei
Share berita:

Moratorium bertujuan agar perkebunan kelapa sawit bisa berkelanjutan. Padahal di Indonesia sudah ada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bukti bahwa kelapa sawit di Indonesia telah menerapkan sustainable.

Ancaman moratorium sawit dinilai tidak senada dengan pandangan dan pengakuan pemerintah selama ini yang menyatakan industri sawit merupakan salah satu industri strategis. Rencana moratorium tersebut juga dinilai bertentangan dengan diplomasi sawit yang intensif dilakukan Kementerian Perdagangan ke Uni Eropa dalam enam bulan terakhir, yang telah berhasil meyakinkan Perancis bahwa perkebunan sawit Indonesia adalah berkelanjutan.

“Sehingga jika rencana moratorium apalagi dengan label “moratorium sawit” dikeluarkan dapat diartikan sebagai pengakuan pemerintah bahwa kebun sawit Indonesia tidak berkelanjutan. Hal ini dikhawatirkan oleh pelaku sawit akan memperburuk citra sawit di pasar internasional,” jelas Direktur Eksekutif PASPI (Palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute), Tungkot Sipayung.

Padahal, menurut Tungkot, satu-satunya komoditi internasional maupun di Indonesia yang memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan adalah minyak sawit. Sebagaimana laporan Rountable Sustanable Palm Oil (RSPO) tahun 2014 sampai saat ini hanya minyak sawit dunia yang memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan.

ISPO Bukti Sustainable Indonesia
Industri minyak sawit khususunya perkebunan sawit dunia sejak tahun 2006 telah memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan yang diprakarsai oleh lembaga RSPO. Kemudian sejak tahun 2011 pemerintah Indonesia juga telah mengimplementasikan tata kelola dan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yakni ISPO.

“Hal tersebut sesuai dengan Permentan No.19/Permentan/OT.140/3/2011 dan Permentan No. 11/Permentan/OT.140/3/2015 mengartikan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai sistem usaha dibidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,” papar Tungkot.

Baca Juga:  Ikagi Siap Mendukung Swasembada Gula

Terbukti, Tungkot menerangkan, saat ini pencapaian sertifikasi keberlanjutan yang relatif besar dalam waktu singkat, menunjukkan besarnya komitmen pelaku usaha industri minyak sawit dalam mengelola kebun sawit secara berkelanjutan. Tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki terutama tata kelola sawit rakyat.

Hal ini wajar karena sebagian besar kebun sawit Indonesia masih berumur muda (kurang dari 15 tahun), sebagian besar masih separuh siklus produksi (satu siklus 25 tahun), sehingga untuk melakukan perubahan termasuk peningkatan produktivitas masih memerlukan waktu.

Bahkan saat ini Kementerian Pertanian sedang melakukan percepatan implementasi ISPO. Lebih dari itu, target Kementerian Pertanian pada tahun 2020 sekitar 70% kebun sawit Indonesia sudah mengantongi ISPO.

Artinya perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan hanya telah berada pada jalur yang benar (on the right tract) pada tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, tetapi juga satu-satunya komoditi dunia dan di Indonesia yang memiliki sertifikasi berkelanjutan. Dengan segala kekurangan yang sedang dibenahi, sertifikasi berkelanjutan kebun sawit Indonesia tersebut masih jauh lebih baik dari pada ribuan komoditi, barang dan jasa yang sampai saat ini belum memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan di Indonesia.

“Sertifikasi minyak berkelanjutan ISPO juga masih jauh lebih baik dari pada seluruh komoditi, barang dan jasa yang dihasilkan Uni Eropa, Amerika Serikat dan lainya, yang tidak memiliki tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan,” ucap Tungkot.

Baca selengkapnya di majalah Media Perkebunan edisi 150 terbit awal Mei 2016