2nd T-POMI
2018, 9 Mei
Share berita:

Menko Kemaritiman ikut mengurus kelapa sawit karena merupakan salah satu sumber energi terbarukan. “Saya juga tahu batas-batasnya. Sawit merupakan industri strategis yang bisa digunakan sebegai sumber energi, karena itu Menko Kemaritiman ikut mengurusi,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan.

Salah satu permasalahan dengan kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan adalah kekuatiran negara-negara maju bahwa kebutuhan sebagai bahan bakar akan mengurangi kebutuhan untuk pangan. “Saya katakan kepada mereka, kita tidak sebodoh itu mengorbankan kepentingan pangan untuk bahan bakar. Dipikirnya kita ini orang bodoh apa. Kebutuhan untuk bahan bakar dipenuhi setelah kebutuhan untuk pangan mencukupi,” katanya.

Salah satu hasil kunjungan PM Tiongkok Li Keqiang ke Indonesia adalah rencana investor China ke industri pengolahan sawit disini. Selain itu negara ini juga akan menambah ekspor sampai 500.000 ton.

“Ini merupakan hasil loby pemimpin negara. Kerjasama proyek infrastruktur hasilnya akan dinikmati kemudian, tetapi tambahan ekspor akan langsung dinikmati pelaku usaha sawit termasuk petani. Negara dengan ukuran ekonomi terbesar ini ikut mendorong perekonomian rakyat,” katanya.

Sedang untuk Eropa yang paling berpengaruh adalah Belanda, Jerman dan Spanyol. Kelapa sawit selalu dibawa dalam urusan lingkungan dan Hak Asasi Manusia.

“Saya katakan kepada mereka jangan ajari kami soal lingkungan. Kami mengerti soal ini. Kalau lingkungan rusak maka kamilah yang pertama merasakan bukan negara-negara Eropa. Karena itu lingkungan kami jaga benar,” katanya.

Bukti lingkungan di jaga adalah kebijakan moratorium perluasan kelapa sawit. Luas lahan kelapa sawit dijaga cukup 12 juta ha. Fokus sekarang pada upaya peningkatan produktivitas. Kenaikan produktivitas petani jadi 4-5 ton/ha akan meningkatkan produksi tanpa memperluas lahan.

Baca Juga:  Wapres Minta Kementan Buat Terobosan Peningkatan Produktivitas dan Nilai Tambah

Sampai saat ini sikap Eropa masih belum jelas, sinyal-sinyal yang diberikan masih bercampur aduk. Indonesia masih mengedepankan diplomasi ekonomi dan retalisasi (pembalasan) perdagangan belum jadi pilihan.

.