JAKARTA, Perkebunannews.com – Lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) selama ini ternyata bukan karena banyaknya persyaratan. Namun justru berkurangnya persyaratan malah tidak menguntungkan petani.
“Inti permasalahan bukan karena persyaratan, justru dengan berkurangnya persyaratan, tidak menguntungkan bagi petani dan syarat yang dihapus bukanlah kewajiban petani melainkan tugas aparat Pembina di daerah untuk membantu,” ujar Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Pengembangan Bio Industri Bambang kepada perkebunannews.com.
Contohnya, kata Bambang, dengan dihapusnya syarat rekomendasi dari dinas kehutanan tentang status lahan, berarti membiarkan lahan sawit petani tetap dalam masalah dengan kehutanan. Hal ini tidak dapat ditindak lanjuti untuk memperoleh sertifikat ISPO.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan dari 5,6 juta hektar (Ha) sawit rakyat terdapat lebih dari 1,8 juta Ha berada dalam Kawasan hutan. “Kejadian di Musi Banyuasin dari 4.444 hektar lahan PSR yang diusulkan seluruhnya sertifikat hak milik ternyata diketahui terdapat 1.600 hektar di antaranya berada dalam Kawasan hutan yang akhirnya Menteri KLHK menyetujui untuk pelepasannya,” terang Bambang yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
Selain itu, lanjut Bambang, dengan dihilangkannya syarat rencana anggaran biaya (RAB), ini juga tugas aparat Pembina di daerah untuk membantu dan bukan petani sendiri yang menyiapkan.
Pembatasan RAB untuk replanting sawit rakyat maksimum berdasarkan hasil perhitungan para pakar senilai Rp 60 juta per Ha. “Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya mark up yang berpotensi membebani utang petani terlalu besar,” jelas Bambang yang juga mantan Kepala Dinas Pekebunan dan Hortikultura, Provinsi Sulawesi Tenggara. (YIN/YR)