Kegiatan logging yang massif dan tak terkontrol yang dilanjutkan dengan konversi eks logging menjadi non hutan khususnya pada masa Orde Baru merupakan “dosa” sejarah tatakelola kehutanan. “Dosa” tersebut tidak berdasar dialihkan menjadi tanggungan kebun sawit yang justru kehadiranya menghijaukan kembali ekonomi dan ekologi eks logging.
Akhir-akhir ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) rajin melontarkan pernyataan seakan-akan pengurangan luas hutan di Indonesia disebabkan ekspansi sawit, termasuk rencana moratorium sawit. Tuduhan tersebut selain tidak memiliki dasar/fakta, juga hanya bentuk pengalihan “dosa” kegiatan logging besar-besaran pada masa Orde Baru dimana Kementerian Kehutanan sebagai pemberi ijin. Kementerian Kehutanan yang saat ini bergabung dengan Kementerian LHK jangan pura-pura lupa dan mencoba membangun opini seakan-akan kebun sawit penyebab berkurangnya hutan di Indonesia.
Masyarakat belum melupakan sejarah kelam kehutanan Indonesia. Pada masa Orde Baru, Departemen Kehutanan memberikan ijin besar-besaran penebangan hutan (logging) secara tak terkendali. Selama masa Orde Baru luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hutan alam yang dikeluarkan pemerintah lebih dari 70 juta hektar (Statistik Kehutanan, 2013). Luas tersebut masih luas HPH yang tercatat. Di luar itu diperkirakan masih sangat luas yang tidak berijin (namun diketahui aparat kehutanan di daerah) sehingga jika ada yang memperkirakan bahwa luas logging di Indonesia pada masa Orde Baru mencapai lebih 100 juta hektar, mungkin saja benar.
Sebagian besar areal HPH tersebut menjadi hutan rusak atau semak belukar dan terlantar sehingga pemerintah mengkonversi menjadi areal non hutan. Studi Forest Watch Indonesia (2001) mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 1950-1985 telah terjadi konversi atau alih fungsi hutan menjadi non hutan sekitar 42,6 juta hektar dan periode 1985-1997 mencapai 20,5 juta hektar, sehingga sampai Orde Baru berakhir telah terjadi konversi hutan menjadi non hutan sekitar 63 juta hektar. Jika menggunakan istilah deforestasi, maka pemicu deforestasi terbesar di Indonesia terjadi selama Orde Baru adalah HPH tersebut.
Sementara itu sampai berakhir Orde Baru luas kebun sawit Indonesia (tahun 2000) baru mencapai sekitar 3,6 juta hektar (Statistik Kelapa Sawit, 2002) atau hanya sekitar 5 persen dari luas konversi hutan menjadi non hutan sampai tahun 1997. Dengan data ini saja sudah membuktikan bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah pemicu (driver) utama deforestasi di Indonesia. Dari 63 juta hektar eks HPH yang dikonversi menjadi lahan non hutan (pertanian, transmigrasi, pemukiman, perkotaan, lahan terlantar, dll) hanya 3,6 juta hektar jadi kebun sawit.
Pada masa era reformasi, sekitar 50 persen HPH masih operasional bahkan bertambah dan luas konversi hutan menjadi non hutan masih mencapai sekitar 15 juta hektar. Sehingga sampai tahun 2013 konversi hutan menjadi non hutan sudah mencapai sekitar 78 juta hektar.
Luas kebun sawit Indonesia pada tahun 2013 mencapai 10,4 juta hektar. Hasil analisis citra satelit Gunarso,dkk (2014) menunjukkan bahwa dari luas kebun sawit tersebut, sekitar 80 persen berasal dari konversi lahan pertanian dan lahan terlantar (bukan dari konversi hutan). Berarti dari 78 juta hektar areal konversi kawasan hutan menjadi hutan yang terjadi selama ini di Indonesia, hanya 10 persen menjadi kebun sawit.
Oleh karena itu, tidak berdasar mengalihkan “dosa” logging dan deforestasi di masa lalu ke kebun sawit. Daripada sibuk menyembunyikan dosa masa lalu, Kementerian LHK lebih baik fokus pada job desk-nya memperbaiki tatakelola hutan kita yang amburadul , mengurus 89 juta hektar hutan (hampir 50 persen luas daratan Indonesia) yang masih tersisa. Restorasilah hutan yang telah rusak/kritis, jangan berikan lagi HPH dan tangkap pemburu satwa liar yang mengancam satwa-satwa liar sehingga terdesak ke pemukiman penduduk dan pertanian. Perkebunan sawit masih mampu diurus Kementerian Pertanian dan instansi lain. Sumber : indonesiakita.or.id/YIN