2017, 9 April
Share berita:

Pemerintah sangat concern terhadap pengembangan komoditas kelapa sawit di Tanah Air. Kelapa sawit saat ini merupakan komoditas strategis, mengingat perannya sebagai penghasil devisa terbesar dari non migas, sumber lapangan kerja, pembangunan ekonomi regional dan pemberantasan kemiskinan. UU 39 tahun 2014 telah mengamanatkan pembangunan perkebunan harus berpedoman kepada prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan.

Kementerian Pertanian telah menerbitkan regulasi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Permentan No 11 tahun 2015. Demikian disampaikan Dedi Junaedi Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hsil Perkebunan Ditjen Perkebunan kepada media perkebunan.

Permentan No 11/2015 tentang ISPO merupakan regulasi yang wajib diterapkan oleh kepada perusahaan kelapa sawit dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan ekonomi, social, dan penegakan paraturan perundangan Indonesia di bidang perkelapa sawitan. Penyusunan sistim sertifikasi ISPO mengacu/didasarkan pada 139 peraturan mulai Undang-undang sampai dengan peraturan Dirjen berbagai instansi pemerintah.

Sistem sertifikasi ISPO adalah serangkaian persyaratan yang terdiri dari 7 (tujuh) prinsip, 34 (tigapuluh empat) kriteria dan 141 (seratus empat puluh satu) indikator yang mencakup isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial, sebagaimana tertuang dalam Permentan No 11/2015, untuk perusahaan kelapa sawit yang terintegrasi kebun dan pengolahan. Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang wajib mensertifikatkan adalah yang melakukan usaha Budidaya; usaha pengolahaan kelapa sawit dan yang terintegrasi kebun dengan unit pengolahan hasil.

Sampai dengan bulan Desember 2016 sudah ada 226 perusahaan kelapa sawit mengantongi sertifikat ISPO. Jumlah tersebut memang masih sedikit dibandingkan dengan perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia. Sebagai informasi sampai saat ini, setelah dilakukan penetapan oleh Komisi ISPO tanggal 4 April 2017 yang lalu, dari 376 laporan hasil audit (LHA) yang sudah mendapat pengakuan sertifikat ISPO 266 perusahaan termasuk 1 plasma dan 1 swadaya, 11 perusahaan ditunda penetapannya karena belum memenuhi persyaratannya seperti legalitas lahan, HGU nya berada kawasan hutan, belum ada izin AMDAL; 69 belum dilakukan verifikasi dan 30 laporan hasil audit yang telah diverifikasi belum di tanggapi oleh Lembaga Sertifikasi.

Baca Juga:  Pertanian Bukan Hanya Pajale

Standarisasi ISPO yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Pertanian, mengakomodir regulasi pemerintah mulai dari legalitas lahan, penanganan limbah sampai dengan kesejahteraan karyawan perusahaan.

Berdasarkan Permentan No 11 tahun 2015, Mekanisme Sertifikasi ISPO secara singkat sebagai berikut: Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang berhak mendaftar adalah yang mempunyai IUP, IUP-B dan IUP-P, termasuk kelas I,II atau III. Audit dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang dipilih sendiri oleh perusahaan tersebut. Setelah dilakukan audit oleh Lembaga Sertifikasi (LS) di buat Laporan Hasil Audit (LHA) diajukan untuk permohonan ke Komisi ISPO untuk mendapatkan pengakuan ISPO. Sebelumnya Sekretariat Komisi ISPO melakukan reviu LHA dan bila memenuhi kelengkapan dokumen dilakukan penilaian oleh Tim Penilai (beranggotakan 17 institusi) yang terdiri dari pejabat eselon II instansi terkait antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta institusi swasta dan LSM seperti Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Produksi Biofuel Indonesia (APORBI), Lingkar Komunitas Sawit. Selanjutnya Tim Penilai melakukan penilaian dan meromendasikan Hasil Penilaian Akhir (HPA) ke Komisi ISPO (beranggotakan 11 instansi/asosiasi) yang terdiri dari pejabat eselon I kementerian terkait dan instasi swasta/LSM seperti Sekjen GAPKI dan Ketua DMSI untuk ditetapkan sertifikat ISPOnya. Pengakuan sertifikat ISPO diterbitkan LS diketahui oleh Komisi ISPO dan diumumkan ke publik.

Kecepatan proses di Sekretariat Komisi ISPO tergantung kelengkapan dokumen yang telah diaudit LS. Proses reviu bisa lebih lama bila kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan belum terpenuhi. Beberapa masalah yang sering menyebabkan lambatnya sertifikat ISPO adalah legalitas lahan, terkait dengan kepemilikan HGU, pelepasan kawasan hutan, sengketa lahan serta okupasi oleh masyarakat pada HGU. Sekretariat Komisi ISPO hanya melakukan reviu dan sebagai filter terhadap dokumen kelengkapan yang diserahkan LS. Tanpa adanya filter tersebut berpotensi terjadinya penyimpangan dalam proses sertifikat ISPO oleh LS.

Baca Juga:  REKTOR IPB : MASUKI PERTANIAN 4.0 PERKEBUNAN HARUS BERPIKIR OUT OF THE BOX

Sistem sertifikasi ISPO memang berbeda dengan Sistim Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), karena sistim sertifikasi ISPO fokus pada CPO yang dihasilkan oleh Tanaman Kelapa Sawit yang terus meneru berproduksi, disisi lain pada SVLK hanya pada kayu yang dihasilkan pada penebangan tanaman.

Issu yang menyatakan bahwa pemusatan kewenangan pada Direktorat Jenderal Perkebunan membuat ISPO tidak berkembang itu sangat tidak benar, justru selama ini karena Lembaga Sertifikasi sebagai lembaga yang melakukan audit sering terhambat karena berbagai masalah kekurangan data-data perusahaan yang diaudit seperti legalitas lahan, perpanjangan izin HGU, izin dampak lingkungan yang belum ada. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, hanya sebagai fasilitator dan memastikan peraturan pemerintah yang diterapkan dalam prinsip dan kreteria ISPO dapat dipenuhi oleh industri kelapa sawit di tanah air. (Sumber: Harian KOMPAS)