2019, 11 April
Share berita:

Tahun 2018 memang merupakan tahun yang sulit bagi industri sawit, bukan hanya di Bengkulu tetapi di seluruh Indonesia. Banyak perusahaan perkebunan yang rugi akibat harga CPO turun. Tetapi secara makro produksi meningkat, juga volume ekspor hanya devisa turun. Joko Supriyono,Ketua Umum GAPKI menyatakan hal ini dalam pelantikan pengurus GAPKI cabang Bengkulu.

Produksi CPO tahun 2018 mencapai 43 juta ton, atau naik 12,5% dari tahun 2017 38 juta ton. Volume ekspor tahun 2018 secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) naik 8% dari 32,18 juta ton tahun 2017 menjadi 34,71 juta ton . Devisa sawit turun 11% dari USD22,97 miliar tahun 2017 menjadi USD20,54 miliar tahun 2018.

“Tahun 2018 neraca perdagangan Indonesia defisit USD8 miliar. Kalau tidak ada surplus sawit maka defisit akan semakin besar,” katanya.

Melihat kondisi ini pemerintah memandang industri ini sangat strategis sehingga terus didorong. Saat ini industri sawit menghadapi tantangan yang cukup berat terutama dari Eropa. Sekarang sudah sampai di level Komisi Eropa yang akan menolak minyak sawit untuk biodiesel.

Dari komisi Eropa akan diajukan ke Parlemen Eropa. Parlemen Eropa bisa menolak atau menerima tetapi biasanya menerima. Setelah itu baru masuk ke Dewan Eropa.

“Prosesnya memang masih panjang tetapi harus terus diawasi. Kalau sampai jadi maka dampaknya akan cukup significant dimana Indonesia akan kehilangan pasar yang cukup besar.” katanya.

Situasi ini menyebabkan pemerintah sekarang sangat kompak dan solid mendukung sawit. Mulai dari Presiden, Wapres, Menko, menteri semuanya mendukung. DPR dan petani juga sudah berkirim surat ke Eropa.

“Sawit menyatukan bangsa Indonesia. Semua bersatu melawan Eropa. Kita akan fokus terhadap masalah ini sambil memperbaiki tata kelola sawit di dalam negeri,” katanya.

Baca Juga:  AGRI Mendorong Produktivitas Tebu Nasional