Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengaku keberatan dengan adanya pajak pertambahan nilai (PPN) Gula Petani sebesar 10 persen, sebab masih ada bebetapa permasalahan gula yang harus dibenahi.
Hal tersebut diungkapkannya saat mendatangani Kantor Kementerian Keuangan, Rabu (31/5/17) yang dipimpin oleh Arum Sabil selaku Ketua Dewan Pembina APTRI.
Dalam pertemuan tersebut, Arum juga mengatakan memang APTRI siap menjadi teladan dalam ketaatan membayar pajak, dan ikut berperan menjadi bagian dan berjuang bersama negara dalam melakukan pembangunan ekonomi di sektor pertanian.
Tapi dengan catatan beberapa permasalahan pada industrialisai gula harus segera dibenahi. Di antaranya, Arum menjelaskan, pertama yaitu modal usaha tani tebu yg bisa di dapat dengan mudah dan tepat waktu. Kedua, keterbatasan alokasi Pupuk bersubsidi oleh pemerintah serta aturan batasan penggunaan pupuk bersubsidi tidak boleh lebih dari 2 hektar.
Ketiga, tidak tersedianya kecukupan bibit tebu dengan varietas unggul. Keempat, minimnya alat mekanisasi untuk pengolahan tanah maupun untuk tebang muat angkut. Kelima, debit air dan insfrastruktur irigasi pengairan yang sudah rapuh.
“Keenam, kondisi pabrik gula yang sudah tua dan harus segera di revitalisasi. Ketujuh, kacaunya aturan ijin gula impor yang penuh dengan konflik kepentingan,” tutur Arum.
Melihat hal ini, Arumberharap, Menteri Keuangan serta Menteri Pertanian dan Menteri BUMN bisa bersama-sama memberikan dorongan kepada Menteri Perdagangan agar bisa merubah aturan batasan harga eceran tertinggi di tingkat Konsumen.
“Artinya maka kita meminta kearifan dan kebijakan Menteri Keuangan agar PPN gula tani di kenakan Rp 0. Sebab apabila petani merugi maka gula petani tidak di kenakan PPN. Sehingga terkait dengan pengenaan tarif Rp 0,- dan segala persoalaan yang di sampaikan dalam Forum silturohim tersebut agar di tuangkan dalam surat resmi,” himbau Arum.
Dalam hal ini, Arum menghimbau, “kepada petani tebu untuk tidak usah risau dengan ditetapkan hal tersebut dan lebih baik melakukan aktivitas menanam tebu dan menjual gulanya sebagaimana biasanya. Sebab petani yang pendapatanya di bawah Rp 50.000.000/tahun tidak di kenakan pajak”.
Artinya, menurut Arum, pada dasarnya APTRI tidak keberatan dengan penetapan oleh Kementerian Perdagangan dengan aturan harga jual gula petani tebu tidak boleh lebih dari Rp 11.000/kg.
“Artinya kalau semisal harga gula petani dibuat maksimal sesuai Surat Menteri Perdagangan dengan harga Rp 11.000/kg dan masih harus bayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen berarti nilai harga gula petani yang diterima adalah Rp11.000/kg – PPN 10 persen = Rp 9.900/kg,” kata Arum.
Sementara itu, lanjut Arum, produktifitas tanaman tebu petani rata-rata 75 ton/hektar dan rendemen petani biasanya rata-rata hanya sekitar 7 – 7,7 persen, sehingga biaya produksi gula bisa mencapai di atas Rp 10.000/kg.
“Maka andai kata produktifitas tanaman tebu bisa mencapai rata-rata mencapai 100 ton/hektar dengan rendemen 10 persen maka biaya produksi gula bisa di bawah Rp 7000/kg. Sehingga kalau hal tersebut bisa terwujut maka petani tebu pasti dengan semangat dan keiklasan hati akan menjadi pelopor dalam ketaatan membayar pajak,” tegas Arum.
Bahkan menurut Arum, juga tidak akan takut bersaing dengan gula impor. “Hal ini karena dengan produktifitas tanaman tebu 100 ton/hektar dengan rendemen rata-rata 10 persen kita bukan hanya meraih swasembada gula tetapi juga memiliki daya saing,” papar Arum.
Tapi, Arum juga menguraikan secara rinci kepada Menteri Keuangan bahwa petani tebu sebenarnya bisa melakukan itu dengan mudah yaitu menanam tebu dengan menghasilkan 100 ton/hektar dengan kualitas tebu setara dengan rendemen 10 persen.
“Namun untuk bisa mencapai hal tersebut banyak kendala yang di luar jangkauan kemampuan petani,” pungkas Arum. YIN