2nd T-POMI
2024, 10 Juni
Share berita:

Pontianak, Mediaperkebunan.id-Sekitar 95% persoalan tata kelola sawit dipengaruhi oleh aspek non teknis seperti korupsi dan keberpihakan kepada petani. Dr Erdi Msi, dosen FISIP Universitas Tanjung Pura Pontianak menyatakan hal ini pada Seminar Nasional ‘Kemitraan Kelapa Sawit Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Tertinggal Sekitar Kebun , Permentan 18 tahun 2021 Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat  (FPKM) yang dilaksanakan Media Perkebunan bekerjasama dengan BPDPKS

. Ada tiga kunci sukses berhubungan dengan kemitraan yaitu kepastian pasar dan pemberlakukuan harga pembelian TBS; pembiayaan dan pembebanan atas biaya umum kepada petani, pembinaan oleh pemerintah dan perusahaan secara berkelanjutan tentang tata kelola kebun dan manajemen.

Masalah besar kemitraan di Kalbar adalah perbedaan harga pembelian TBS sehingga terjadi inharmonisasi antara petani dan perusahaan; proses pembelian TBS dari petani berbelit; masyarakat berjuang sendiri tanpa didampingi pemerintah; petani tidak fokus pada peningkatan kualitas dan produktivitas tetapi lebih pada akomodasi hak.

Pada pembangunan kebun plasma baru, pemerintah lebih suka manajemen satu atap. Bagi petani satu atap identik dengan penipuan oleh perusahaan dengan pembesaran biaya. Pola KKPA dianggap lebih transparan tetapi sekarang sudah tidak ada. Pembiayaan BPDPKS masih sulit dan terbatas. Pada peremajaan kebun plasma dana pendamping didapat dari bank yang dianggap lebih menguntungkan inti.

Alokasi kebun plasma 20% tidak dibangun secara bersamaan. Plafon kredit yang ditanda tangani petani yaitu surat pengakuan utang di mark up sehingga menimbulkan kemarahan petani. Tahun 2027-2008 dari Rp30 juta jadi Rp58 juta, tahun 2010/2011 dari Rp29 juta menjadi Rp83 juta. Setelah kredit lunas kualitas pembinaan inti berkurang. Plasma lari dari PKS inti untuk menghindari pemotongan kredit, sedang petani mandiri ingin menjadi mitra agar TBS dibeli dengan harga tinggi.

Baca Juga:  Menkeu Pesan Tiga Hal untuk Pelaku Kelapa Sawit

Berdasarkan indeks desa membangun tahun 2018 tidak ada desa mandiri.  Dalam waktu empat tahun semua bergerak sehingga dihasilkan 114 desa mandiri.  Fokus tahun 2025 adalah mentuntaskan 77 desa tertinggal; memandirikan desa maju; mengakat desa berkembang menjadi desa maju dan mandiri. Kedepan perusahaan perkebunan tidak hanya menjadi mitra petani tetapi menjadi mitra desa untuk mewujudkan desa mandiri dan tanggun bencana.

Masih banyak yang harus dilakukan yaitu memitrakan petani dalam sistim rantai pasok; memastikan mharga pembelian TBS petani mitra sesuai dengan ketetapan pemerintah; menjadikan Bumdes sebagai institusi mitra; mendorong petani untuk bersertifikat ISPO, RSPO dan ISCC sebagai wujud pembangunan bersih dan berkelanjutan; pemerintah desa dan perusahaan bersama-sama dengan dinas perkebunan kabupaten membantu petani mendapatkan alokasi PSR yang dibiayai BPDPKS; perusahaan perkebunan sebagai agen yang pertama dalam membantu pemerintah saat terjadi bencana daerah (karhutla, banjir, longsor).

Sawit di Kalbar dikembangkan oleh PTPN tahun 1980an, mendapat protes dari masyarakat adat karena sawit dianggap telah melahap hutan adat dengan konversi lingkungan yang kecil. Era 1990an dianggap sebagai tanaman rakus, tidak ramah lingkungan, biaya replanting mahal akan membawa petani sengsara.

Sejak tahun 2000an muncul paradoks sawit, bukan lagi protes justru masyarakat ingin punya lahan sawit dan sampai sekarang masih. Pergub nomor 20 tahun 2020 menetapkan sawit sebagai komoditas unggulan Kalbar. Tata kelola yang jelek oleh 1-2 perusahaan jangan digeneralisir atau menyalahkan komoditasnya tanpa melihat kontribusinya pada perekonomian rakyat dan daerah.

Tahun 2022 Kalbar tidak mendapat dana bagi hasil sawit sedang tahun 2023 Rp65,666 miliar, sedang tahun 2024 diperkirakan menurun. DPRD Kalbar menrekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Kalbar untuk memperjuangkan besarnya DBH sawit terus meningkat, seiring meningkatnya produksi TBS Kalbar; moratorium ekspansi perkebunan kelapa sawit melalui korporasi; mengupayakan PSR yang mencapai 140.182 ha sedang realisasi baru 18.573 ha; mendorong dan memfasilitasi program seritifikasi kebun mandiri dengan melibatkan NGO dan korporasi sebagai mitra petani kelapa sawit; mendesak korporasi perkebunan kelapa sawit untuk melakukan sertifikasi kebun plasma dalam wilayah korporasinya; mendesak dinas perkebunan kabupaten untuk memenuhi  target pemenuhan STDB di setiap kabupaten, paling sedikit 1.500 STDB/tahun.

Baca Juga:  Industri Sawit Wajib Berbenah Diri

Jumlah karyawan perusahaan sawit di Kalbar ada 3.454.532 orang dengan gaji rata-rata Rp4 juta/orang maka total penerimaan karyawan adalah Rp13,818 triliun. Petani kelapa sawit dengan lahan 2 ha 4.432.362 orang dengan pendapatan  rata-rata Rp3,5 juta perorang maka total pendapatan Rp15,513 triliun. Buruh sawit 7.866.894 orang dengan pendapatan rata-rata Rp2 juta maka total pendapatan seluruhnya Rp15,773 miliar. Total penerimaan semua yang terlibat di kebun sawit Rp45,105 triliun. Dahsyatnya dampak ekonomi ini menjadi kemitraan merupakan keharusan.