2nd T-POMI
2021, 11 September
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebutkan kebijakan biodiesel harus direncanakan dan dilaksanakan dengan tepat. Kebijakan biodiesel yang semakin progresif berpotensi menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan, besaran subsidi atau insentif untuk industri biodiesel dan risiko ekspansi lahan.

Dalam studi yang berjudul “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” disebutkan bahwa semakin besar tingkat campuran minyak sawit dalam biodiesel memang akan berpotensi menghemat impor solar, tetapi di sisi lain akan menurunkan potensi penerimaan dari ekspor minyak kelapa sawit. Dalam kondisi harga minyak kelapa sawit tinggi relatif terhadap solar, tentunya akan membuat dampak yang kurang baik terhadap neraca perdagangan.

Dari sisi fiskal, kebijakan ini membawa risiko yang semakin besar seiring dengan target campuran dan produksi biodiesel. Hal ini karena insentif yang diberikan kepada industri biodiesel tergantung dari selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar, dan adakalanya selisih harga tersebut sangat signifikan, sehingga membuat besaran insentif membengkak.

Dari sisi lingkungan, rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik. Dengan asumsi tren ekspor tetap, tentunya peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik.

“Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan. Saat biodiesel mulai digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit untuk biodiesel akan meningkat. Maka, keberlanjutan setiap tahapan pengelolaan kelapa sawit mulai dari perkebunan sampai menjadi biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat,” kata Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI.

Baca Juga:  Kementan  Perjuangkan Akses Pasar Sawit Berkelanjutan di Uni Eropa

Studi ini mengestimasi dampak kebijakan biodiesel menggunakan tiga skenario. Skenario pertama mengasumsikan pemerintah menerapkan bauran sebesar B20, skenario kedua B30 dan skenario ketiga B50. Skenario 1 sampai dengan 3 memperlihatkan kebijakan biodiesel yang semakin progresif, yang terlihat dari tingkat campuran yang semakin besar. Proyeksi dampak skenario dibuat sampai dengan tahun 2025.

Berdasarkan proyeksi perhitungan LPEM FEB UI, akumulasi potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020—2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20 dan untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama.

“Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” tambah Alin.

Saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp79,2 trilliun. Akan tetapi, penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp48,9 triliun. Selain itu, pemerintah memperkirakan bahwa penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp112,8 triliun akibat implementasi B30, namun perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit.

Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan bersih (netto) dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada tahun 2020—2025 adalah sebesar Rp44 triliun, yang berarti penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah (Rp112,8 triliun).

“Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama. Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelas Alin.

Baca Juga:  Di Tengah Pandemi, Industri Sawit di Sumbar Tetap Normal

Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia. “Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin