2nd T-POMI
2022, 26 Juni
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendukung pelaksanaan PSR. Tahun 2020 menandatangani MoU dengan BPDPKS untuk melakukan sertifikasi kebun kelapa sawit peserta PSR. Mulai dilaksanakan tahun 2021, tetapi sampai 2022 masih banyak persoalan dan kendala yang harus diselesaikan.

“Tahun 2023 kita harapkan bisa berjalan dengan lebih baik. Kita ingin mempercepat sertifikasi lahan milik peserta PSR ini supaya legalitasnya diperkuat dan tidak ada konflik dikemudian hari. Tahun 2024 diharapkan semua lahan PSR sudah bersertifikat semua,” kata Suyus Windayana, Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kemen ATR/BPN. Hal ini disampaikan pada Webinar “Dampak Program PSR Sarpras dan Pengembangan SDM Bagi Petani Sawit” seri 7 “Dampak Pendanaan BPDPKS untuk Petani Sawit,’ yang diselenggarakan Media Perkebunan dan BPDPKS.

Ruang lingkup MoU adalah pendaftaran tanah pekebun peserta PSR, penanganan permasalahan tanah pekebun peserta PSR dan pertukaran data/informasi. BPDPKS menyampaikan CPCL peserta PSR; ATR/BPN diberi akses ke aplikasi PSR online; BPDPKS berkoordinasi dengan instansi terkait untuk pendampingan persiapan dan pelaksanaan pendaftaran tanah; ATR/BPN memberikan pelayanan pendaftaran tanah melalui mekanisme PSTL (Pendaftaran Sistematika Tanah Lengkap).

Anggaran sertifikasi semuanya dari Kemen ATR/BPN dengan melakukan refocusing karena tidak ada anggaran dari BPDPKS. “Pelaksanaan di lapangan ternyata tidak mudah. BPDPKS punya data tetapi tidak punya tim di daerah. Petugas survei dan pengumpulan data di kantor pertanahan kabupaten kesulitan berkoordinasi dengan dinas perkebunan kabupaten/kota,” katanya.

Supaya bisa dianggarkan untuk tahun 2022,maka data CPCL harus masuk ke BPN tanggal 30 Juni 2021. Tetapi tanggal 4 Januari 2022 data baru diterima sehingga agak kesulitan dalam penganggaran. Dari total usulan 62.422 bidang bisa dianggarkan 16.943 bidang (27%) . Sisa target dilaksanakan melalui optimalisasi anggaran kegiatan non sistematis.

Baca Juga:  Sedikit Gangguan Sawit Berpengaruh Bagi Perekonomian Nasional

Tahun 2021 dari target 5.560 bidang tanah yang diberikan BPDPKS yang clear sudah ada data koordinat dan tidak masuk dalam kawasan 1.961 bidang. Sertifikasi tercapai 2.053 bidang atau 37% dari target. Ada 7 kanwil yang mencapai target 100% yaitu Lampung, Kalbar, Kaltim, Sulteng, Kalteng, Sulsel, Riau. Sisanya Sultra 48%, Aceh 43%, Jambi 15% dan Sumut 11%. Sulbar, Banten, Bengkulu, Sumbar, Sumsel tidak ada realisasi karena tidak ada CPCL dan CPCL yang clear and clean karena masuk dalam kawasan hutan atau telah bersertifikat.

Suyus berharap proses sertifikasi kedepan bisa dipercepat. Diharapkan ada tambahan anggaran dari BPDPKS. Kemeterian ATR/BPN sendiri sangat mendukung suksesnya PSR. Sekarang dimana ada program PSR maka Kemen ATR/BPN akan masuk untuk melakukan sertifikasi.

Untuk meningkatkan capaian sertifikasi upaya yang dilakukan adalah lebih berkoordinasi antara kantor pertanahan provinsi/kabupaten/kota dengan dinas perkebunan. Setiap ada data dari BPDPKS kantor pertanahan kabupaten langsung koordinasi dengan dinas perkebunan memverifikasi CPCL untuk mencari objek PSR yang belum bersertfikat hak milik dan yang berada di luar kawasan hutan. Saat ini baru Kalbar yang NIK CPCLnya sesuai dan terdaftar dengan PSR online.

Panggah Susanto, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar menyatakan Komisi IV siap ikut menyelesaikan lahan petani yang berada di dalam kawasan hutan. “Asal datanya lengkap by name by addres silakan bawa ke saya. Nanti kami bantu untuk menyelesaikannya. Salah satu patner kerja komisi IV DPR RI adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya.

Syaratnya adalah data yang lengkap supaya penyelesaiannya konkrit juga. Kalau data hanya perkiraan saja atau data glondongan hanya menyebutkan ada sekian hektar di kawasan ini maka penyelesaiannya akan sulit. Dengan cara ini maka petani dibantu mendapatkan legalitas lahan.

Baca Juga:  Meski Ekspor Anjlok, Nilai Ekspor Sawit Naik

Saat ini struktur kepemilikan lahan perusahaan perkebunan 53% dan perkebunan rakyat 41% sudah cukup harmonis. Petani dengan jumlah 2,3 juta orang dan menyerap tenaga kerja sampai 4,6 juta orang , jumlahya harus dipertahankan, jangan sampai berkurang seharusnya malah bertambah.

Masih banyak masalah petani selain legalitas lahan adalah produktivitas. BPDPKS yang dibentuk dengan dasar UU perkebunan salah satu tugasnya adalah membiayai peremajaan sawit rakyat. Saat ini serapan dana untuk peremajaan masih 10,72% dan kalau dikaji lagi lebih banyak petani plasma, sedang swadaya masih rendah. Peremajaan harus sukses untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Mengenai BPDPKS sendiri, Panggah yang ketika lembaga ini berdiri adalah Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, pendiriianya diawali dengan tekanan UE terhadap CPO dan turunannya yang pada ujungnya menekan harga. Karena itu ada ide bagaimana memperluas pasar supaya tidak tergantung pada UE.

Dicari produk yang bisa menyerap CPO secara significant sehingga bisa mempengaruhi harga, dan produk itu adalah biodiesel yang waktu itu ditetapkan B20. Biodiesel mampu menyerap CPO secara masif. Pada awalnya pengaruhnya terhadap harga tidak significant tetapi tahun-tahun selanjutnya sangat mempengaruhi.

Sesuai dengan UU Perkebunan yang menjadi dasar hukumnya maka BPDPKS harus berdampak terhadap petani. Sesuai UU Perkebunan maka dana BPDPKS digunakan untuk pengembangan SDM, litbang, peremajaan, sarpras, promosi dan dalam UU Cipta Kerja ditambah biodiesel. “Selama ini ada salah pengertian seolah-olah program biodiesel ini berdiri sendiri padahal dengan memperluas pasar maka akan mendongkrak harga sehingga mempengaruhi semua rantai pasok termasuk kesejahteraan petani.

Sekarang yang harus dilakukan adalah meningkatkan serapan dana yang disediakan. Serapan paling tinggi adalah biodiesel 81,66% kemudian peremajaan 10,72%, program baru insentif minyak goreng 5,45%, sarpras 1,29%, SDM 0,26%, riset 0,22%, promosi 0,17%.

Baca Juga:  Harga Sawit Kalbar Periode I Rp 2.109 Per Kg