2016, 23 September
Share berita:

Daripada Badan Restorasi Gambut (BRG) capek dan menghamburkan uang negara untuk mencari investor asing untuk pengembangan sorgum, nenas, sagu di lahan gambut, lebih baik fokus membantu masyarakat kebun sawit gambut untuk memperbaiki tatakelola kebun sawit gambut agar makin sustainable.

Akhir-akhir ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) maupun dari LSM menyampaikan wacana berbagai alternatif pemanfaatan lahan gambut budidaya selain sawit dan HTI. Ada yang mengusulkan pengembangan sorgum, nenas, dan sagu di lahan gambut. Bahkan BRG merencanakan promosi untuk pengembangan tanaman alternatif tersebut ke investor asing.

Wacana tersebut bukan hal yang baru. Selama ini petani di lahan gambut selain menanam padi, sayuran juga sudah menanam nenas maupun sagu, namun hasilnya tidak dapat diandalkan menjadi sumber pendapatan petani. Para petani kita meskipun bukan orang sekolahan, mereka sangat rasional untuk memilih tanaman yang menguntungkan bagi mereka. Jika tanaman-tanaman tersebut menguntungkan bagi petani, tidak usah disuruh petani pasti menanamnya. Patut diingat bahwa petani memiliki kebebasan memilih tanaman yang akan dibudidayakan dan dilindungi UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Petani saja yang tidak terlalu rasional pada kenyataanya tidak memilih tanaman tersebut untuk dikembangkan di lahan gambut. Apa mungkin pengusahan termasuk investor asing yang berorientasi profit murni akan bersedia mengembangkan sorgum, nenas, dan sagu di lahan gambut? Apalagi wacana alternatif tanaman yang diajukan BRG tersebut hanya didasarkan pada hitung-hitungan diatas kertas dan belum ada bukti emperis dalam dunia nyata.

Lantas tanaman apa yang realistis untuk lahan gambut? Sampai saat ini fakta emperis menunjukkan bahwa kebun sawitlah yang paling realistis dikembangkan di lahan gambut. Bukti emperisnya dapat dilihat di Pesisir Timur Sumatera Utara dimana ratusan ribu hektar kebun sawit di lahan gambut telah dikembangkan petani dan korporasi sejak 100 tahun lalu sampai saat ini. Juga di Malaysia ada jutaan hektar kebun sawit gambut yang telah berkembang.

Baca Juga:  Peragi: Sawit Indonesia Harus Bertahan Dari Tekanan Multidimensi

Kebun sawit gambut di Pesisir Timur Sumatera Utara dan Malaysia tersebut selain telah berlangsung 50-100 tahun, juga tidak pernah terbakar, dan memiliki tata kelola yang relatif lebih baik. Petani sawit gambut di daerah tersebut bahkan sudah memasuki generasi kedua atau ketiga dan menghasilkan banyak sarjana dari pendapatan sawit. Karena itu, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kebun sawit gambut tersebut tidak berkelanjutan (sustainable) baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan.

Di daerah lain seperti daerah lahan gambut Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan juga sedang berkembang kebun sawit gambut baik oleh petani maupun korporasi. Itu adalah fakta pilihan rasionalitas dan belajar dari kebun sawit gambut Pesisir Timur Sumatera Utara maupun Malaysia.

Namanya baru mulai belajar pastilah banyak kekurangan terutama dalam tatakelola lahan. Mereka butuh waktu untuk memperbaikinya secara learning by doing. Dan proses perbaikan itulah bagian dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Proses learning by doing itu bisa dipercepat jika pemerintah termasuk BRG ikut membantu.

Akhirnya daripada BRG capek mencari alternatif tanaman yang dikembangkan di lahan gambut dan menghabiskan anggaran pemerintah, lebih bijaksana jika membantu memperbaiki tatakelola kebun sawit gambut yang telah ada agar makin sustainable. Jika BRG merasa tidak cukup belajar dari kebun sawit Pesisir Timur Sumatera Utara, silahkan membuat model farm (percontohan) yang lebih baik. Rencana BRG yang berupaya menarik investor asing sorgum, nenas, dan sagu ke lahan gambut selain diragukan keberhasilanya juga akan menciptakan kegaduhan dengan masyarakat di daerah gambut.
Sumber : indonesiakita.or.id/YIN