JAKARTA, mediaperkebunan.id –Kebijakan European Union Deforestasion-Free Regulation (EUDR) yang diberlakukan Uni Eropa (UE) akan berdampak signifikan pada petani sawit. Karena ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.
Berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki resiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit. Padahal pola budidaya kelapa sawit yang diterapkan sudah menggunakan pola sustaianable (keberlanjutan). Hal ini dibuktikan dengan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Kita tidak mau dituduh tidak sustainable, sebab kita sudah memenuhi persyaratan tapi mengapa masih mempunyai hambatan-hambatan,” tegas Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa dan Sumber Daya Alam, Musdhalifah Machmud Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kupas Tuntas Regulasi Perkelapa Sawitan Indonesia,” yang di Jakarta, seperti dikutip Sabut (4/5/2024).
Menurut Musdalifah, Indonesia sudah mempunyai ISPO yang di dalamnya tercakup aturan pemenuhan persyaratan EU seperti masalah tuduhan deforestasi. Mestinya dengan adanya sertifikasi ISPO sudah cukup membuktikan sawit Indonesia bebas deforestasi.
“Ini yang kita usahakan agar mereka tahu kita sudah punya sertifikat keberlanjutan ISPO yang sebenarnya cukup untuk bisa ekspor ke Uni Eropa,” jelas Musdhalifah.
Hal serupa juga diungkapkan Kepala Divisi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) AchmadMaulizalSutawijaya. “Sertifikasi ISPO penting untuk pembuktian bahwa kelapa sawit di Indonesia telah sustainable,” tukasnya.
Menurut Maulizal, betapa pentingnya komoditas kelapa sawit bagi Indonesia. Karena jika kelapa sawit di Indonesia terhenti bukan hanya industri yang terkena dampaknya, namun juga petani.
Berdasarkan catatan BPDPKS, terdapat sekitar 2,4 juta petani swadaya yang melibatkan 4,6 juta pekerja. Artinya, jika sampai komoditas kelapa sawit ini terpukul oleh aturan EUDR maka akan ada jutaan petani dan pekerja yang ikut merasakan dampaknya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Rino Afrino mengatakan, kontibusi petani terhadap komoditas kelapa sawit tidaklah kecil. Dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonnesia yang mencapai 16,38 juta hektare (ha), seluas 42 persennya atau seluas 6,94 juta ha dimiliki ralyat atau petani.
Lebih lanjut Rino menjelaskan, para pekebun atau petani yang mempunyai lahan kurang dari 25 ha tunduk pada mekanisme surat tanda daftar budidaya (STDB) sebagai data dasar berdasarkan nama berdasarkan alamat dan lokasi/peta perkebunan.
“Kendati demikian, pemerintah telah mempunyai kebijakan hukum yang mewajibkan perusahaan untuk memfasilitasi pengembangan perkebunan rakyat setelah tahun 2007,” jelas Rino.
Sehingga dalam hal ini, lanjut Rino, jutaan orang di Indonesia dalam hal ini petani kelapa sawit mengirimkan Petisi ke UE Kedutaan Besar pada tanggal 29 Maret 2023. (*)