Berbagai kalangan terus mempermasalahkan tentang arti sustainable (bekrkelanjutan). Bahkan pihak asing pun sampai mengurusi sustainable kelapa sawit di Indonesia dengan merangkul perusahaan-perusahan besar di Indonesia melalui perjanjian Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Ketua Umum Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo), Agus Pakpahan menjelaskan apa itu arti sustainability atau sustainabilitas. Istilah ini sering mengaburkan pengertian, karena itu kata tersebut sering bersifat politis.
Dalam bidang ekonomi sustainabilitas dalam pengertian waktu tanpa batas itu tidak ada. Apalagi buktinya di bidang perkebunan sangat banyak, diantaranya rempah-rempah, kopi, gula, hutan dan lain sebagainya tak ada yang dengan sendirinya sustainable.
Kebangkrutan menghadang sebagai fakta evolutionary, akibat perkembangan totalitas zaman yang biasanya didorong oleh penemuan-penemuan baru.
“Jadi, kalau ada praktek sustainabilitas dalam bidang ekonomi dapat diduga kuat bahwa praktek tersebut adalah praktek membentengi diri saja agar memperkuat posisinya dari para pesaing dgn alasan sustainability,” kata Agus yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
lebih lanjut, menurut Agus, tidak ada yang bisa membantah bahwa pasar sawit ini dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa saja dan semuanya adalah perusahaan swasta. Dengan kekuatan pasar yangg demikian besar tidak akan ada pihak yang bisa melawananya. Maka dengan perkataan lain tidak akan ada yang bisa bersaing dengan perusahaan raksasa tersebut. Apalagi perusahaan raksasa tersebut bergabung atau berasosiasi.
Melihat hal ini maka orang barat dikenal sangat individualistik. Walaupun begitu mereka menunjukkan fakta bahwa demi keuntungan mereka bisa berkartel atau bersekongkol.
Disisi lain, tipe orang timur secara sosiologis adalah masyarakat komunal. Hal ini juga yang menjiwai Pancasila dan UUD 45. Bahkan yang repot adalah sifat komunal yang sering disalah gunakan, untuk kepentingan kelompok sendiri saja dgn tujuan menekan pihak lain.
kemudian, jika melihat faktor sustainability adalah daya saing dari hasil inovasi berbasis nilai tambah bersumber dari R&D dan industrialisasi. “Maka jika IPOP bagian dari sustainability maka ia bertentangan dengan makna daya saing yg bersumber dari inovasi teknologi, manajemen dan industrialisasi,” ucap Agus yang juga pernah menjabat salah satu Deputi di BUMN.
Maksud dari statement ini, Agus menambahkan, adalah evolusi dari captured natural capital tidak berlanjut kepada industrialisasi berbasis R&D dan nilai tambah ttp malahan berbelok ke pembatasan sumber TBS. Indikatornya adalah nilai expor kita masih didominasi crude palm oil (CPO).
Artinya bahwa IPOP justru menambah atau meningkatkan constraint, bukan membuka peluang ekonomi berbasis sawit dengan orientasi nilai tambah yang maksimum. “Pendisiplinan masyarakat petani penghasil tandan buah segar (TBS) memang tugas kita semua tetapi bukan tugas langsung dari IPOP (kecuali menerapkan model VOC),” tegas Agus.
Melihat hal ini, Agus menghimbau, ”sebaiknya IPOP mengembangkan kesempatan-kesempatan baru bagi berkembangnya kesempatan ekonomi masyarakat, sejalan dengan kelanjutan evolusi perkebunan besar dimasa lalu, seperti kawasan hutan melalui hak guna usaha (HGU) ke CPO lalu ke industrialisasi seperti Korea Selatan.” YIN