2nd T-POMI
2024, 12 Februari
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id – Teknologi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia sulit ditingkatkan, apa penyebabnya?

Ketua Bidang Sumber Daya Manusia Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia (P3PI), Bonar Saragih ungkap fenomena sulitnya meningkatkan teknologi PKS. Wawancara selengkapnya telah dilakukan oleh tim mediaperkebunan.id dalam rangka menyambut acara 2nd Updating Technology and Talent Palm Oil Mill Indonesia (TPOMI).

Sulit ditingkatkan, PKS saat ini masih menggunakan teknologi yang relatif sama dengan 50 tahun lalu. Menurut Bonar, sulitnya meningkatkan kualitas teknologi PKS dipicu oleh beberapa hal.

Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) atau karyawan jadi penyebab utama sulitnya peningkatan tekologi PKS, mengapa?

Tuntutan untuk merekrut karyawan lokal

Dalam wawancaranya, Bonar mengatakan bahwa letak PKS secara demografis yang umumnya berada di remote area menuntut para pelaku usaha untuk merekrut sebanyak mungkin karyawan lokal. Namun, realitanya karyawan lokal memiliki kompetensi yang jauh di bawah karyawan dari luar daerah, walau sama-sama lulusan SLTA.

Misalnya, salah satu PKS yang baru dibangun hanya 40 km dari ibu kotra provinsi. Meski berada di lokasi yang tidak terlalu mengharuskan untuk remote, pabrik tersebut punya tuntutan bahwa 60 persen karyawan harus dari masyarakat setempat.

“Kita tidak punya kemewahan seperti pabrik-pabrik besar di Jabodetabek . Mereka bisa menentukan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi calon karyawan misalnya harus lulus dari STM Unggul. Kita di PKS pasti akan didemo masyarakat setempat kalau menentukan kriteria karyawan secara ketat,” katanya, dikutip dari mediaperkebunan.id.

Sulitnya mendidik karyawan pabrik

Bonar mengatakan bahwa otomatisasi PKS pernah diupayakan oleh sebuah grup besar selama 6 tahun lalu. Namun, akhirnya dibongkar ke manual kembali karena karyawan tidak mampu menyesuaikan dengan ketentuan yang baru.

Baca Juga:  Inilah Benih Sawit Tahan Kekeringan

Disebutkan bahwa ada juga yang telah melakukan investasi besar-besaran untuk membuat war room dimana manager bisa mengoperasikan sendiri PKS bila karyawan mogok. Namun, hanya sampai 1,5 tahun akhirnya dibongkar kembali.

Walau sudah sumbangkan biaya pelatihan yang besar, sebuah grup mengaku tak mudah mendidik karyawan pabrik.

Jumlah karyawan pabrik kelapa sawit yang sedikit

Jumlah karyawan PKS tak terlalu banyak, untuk satu shift saja jumlah hanya sekitar 18-20 orang. Berbeda dengan pabrik pulp, karyawan yang kerja kasarnya banyak sehingga bisa menampung tenaga kerja lokal, sedang pabrik dikelola karyawan rekrutan dari luar daerah yang kompeten.

Produsen alat mesin PKS yang lebih modern sebenarnya sudah ada saat ini, yaitu memungkinkan pabrik untuk bekerja secara linier dari satu stasiun ke stasiun lain. Selain itu, pabrik juga bisa berjalan secara otomatis dengan investasi lebih tinggi 30-40 persen.

Namun, lagi-lagi kendalanya ada di karyawan. PKS memerlukan orang yang bisa merawat mesin-mesin.

Tak hanya yang ahli, PKS juga perlu karyawan yang bisa dipercaya. Pasalnya, PKS kerap disabotase baik sengaja atau tidak sengaja, misalnya ada besi yang masuk sehingga memperlambat operasional pabrik.

Selain terletak di kemampuan karyawan yang kompetitif, pengusaha sawit itu sendiri juga jadi faktor sulitnya meningkatkan teknologi PKS. Karena laba yang sudah besar, para pelaku usaha dinilai relatif menutup diri dari teknologi baru yang disodorkan.

Selain itu, psikologis karyawan terutama di bidang enginering yang terus menerus menerima teknologi baru juga harus diperhatikan. Jika teknologi yang baru masuk gagal menghasilkan, mereka bisa kena sanksi, tetapi kalau berhasil gaji mereka pun belum tentu naik secara drastis.

Jangan lewatkan bahasan selengkapnya tentang pengembangan SDM Pabrik Kelapa Sawit di 2dn TPOMI 2024 yang diselenggarakan oleh P3PI dan Media Perkebunan pada 18-19 Juli mendatang di Bandung.

Baca Juga:  Sinarmas Luncurkan Program “Forest Village Conservation based on Livelihood”