2nd T-POMI
2019, 15 Januari
Share berita:

JAKARTA, Perkebunannew.com – Jika tidak ada upaya yang significant untuk membendung penurunan areal perkebunan teh di Indonesia, diperkirakan perkebunan teh di Indonesia pada tahun 2065 hanya tinggal sejarah. Akibatnya, kerusakan lingkungan di areal high grown tea seperti banjir, dan longsor akan semakin parah.

Demikian dikatakan pakar teh dari PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Rohayati Suprihatini. “Kinerja komoditi teh nasional selama sebelas tahun terakhir (2005-2016) terus terpuruk,” tandasnya kepada perkebunannews.com.

Menurut Rohayati, terjadi penurunan kinerja secara drastis di semua indikator kinerja yaitu areal, produksi dan ekspor teh Indonesia. Sebaliknya, impor komoditi teh Indonesia meningkat drastis.

Rohayati mengungkapkan, areal tanaman teh di Indonesia menurun sebesar 1,8 persen per tahun, atau seluas 2.423 hektar
(Ha) setiap tahunnya, sehingga pada tahun 2016 arealnya hanya 117.268 Ha. “Terjadi alih fungsi lahan perkebunan teh di semua bentuk pengusahaan baik perkebunan teh rakyat, PTPN teh maupun Perkebunan Besar Swasta (PBS) teh,” ujarnya.

Rohayati mengatakan, perkebunan teh yang berada di low grown tea umumnya dikonversi menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit. Sementara areal perkebunan teh yang berada di medium dan high grown tea dikonversi ke areal hortikultura, kopi arabika, dan areal untuk keperluan property.

“Areal perkebunan teh tersebut tidak dapat dibendung, sehingga target Roadmap Komoditi Teh Nasional untuk dapat mempertahankan keberadaan areal teh di Indonesia seluas 123.000 hektar hingga tahun 2045, sulit dicapai,” jelas Rohayati.

Menurut Rohayati, konversi areal perkebunan teh terjadi karena sebagian besar usaha perkebunan teh mengalami kerugian. Hal ini ditambah lagi lemahnya kebijakan proteksi berupa tariff barriers dan non tariff barriers dari Pemerintah Indonesia untuk melindungi produk teh produksi dalam negeri.

Baca Juga:  FAKTA SEPUTAR VIRALNYA KASUS SEORANG IBU MENCURI TBS PTPN V

Disamping itu, lanjut Rohayati, sangat minimnya subsidi input berupa benih unggul dan pupuk urea sehingga usaha perkebunan teh menjadi kurang menarik dibandingkan dengan usaha hortikultura seperti sayuran dan komoditi perkebunan lainnya yaitu kelapa sawit, kopi arabika dan karet. (YR)