2nd T-POMI
2024, 3 April
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan pentingnya memperluas akses pendanaan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kelapa sawit. Menurutnya, akses tersebut tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi seperti SPKS yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani. Sabarudin menyoroti hal ini dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta.

Lebih lanjut, Sabarudin menyampaikan bahwa SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 Kabupaten. Namun, sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena terkendala oleh masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO.

“Sayangnya pemerintah tidak memperhatikan masalah pendanaan ini, terutama ketika petani tersebar di berbagai lokasi seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau, dimana ada 1000 petani yang ingin menerapkan ISPO,” ujar Sabarudin.

Petani di Sanggau sudah memiliki pemetaan, Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan semua persyaratan lain yang dibutuhkan untuk sertifikasi. Sabarudin menyebutkan bahwa sudah ada 12 Koperasi yang siap untuk menerapkan ISPO dan mereka telah memenuhi semua persyaratan administratif, namun terkendala oleh pendanaan.

Dengan demikian, memperluas akses pendanaan ISPO menjadi penting untuk memastikan bahwa petani kelapa sawit, termasuk yang tergabung dalam organisasi seperti SPKS, dapat dengan mudah mengakses proses sertifikasi tersebut tanpa terkendala oleh masalah keuangan. Hal ini tidak hanya akan membantu meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit, tetapi juga mendukung upaya Indonesia dalam mempromosikan produk kelapa sawit yang berkelanjutan secara global.

Sementara Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun), Prayudi Syamsuri, capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang masih tertinggal, lantaran baru seluas 5,6 juta hektar, atau capaian ISPO saat ini hanya mencapai sekitar 37,08 persen. Sebab itu guna mengatasi kendala tersebut, fokus utama ditujukan pada peningkatan kelembagaan dalam industri ini.

Baca Juga:  Tidak Perlu Larut dalam Permainan Uni Eropa

Kata Prayudi, pihaknya menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, dirinya meminta Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Lebih lanjut, kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO diminta untuk mendaftar sesuai dengan program Sarana dan Prasarana (Sarparas).

Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, Prayudi, menekankan pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya.

Lebih lanjut tutur Prayudi, revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas, di mana pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory atau voluntary.

“Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif. Model penilaian akan terus disempurnakan untuk mengurangi biaya dan mempercepat proses sertifikasi ISPO, sehingga beban BPDPKS dapat dikurangi dan dialihkan ke koperasi lainnya,” kata Prayudi.

Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, menekankan pentingnya Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai identitas utama dalam menjadikan industri kelapa sawit Indonesia sebagai pelaku yang berkelanjutan. Sunari menegaskan bahwa saat ini sudah tidak relevan lagi membandingkan ISPO dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau sebaliknya. “Mari kita miliki jati diri ISPO dan menjadi sawit berkelanjutan versi Indonesia, kami hanya mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sunari menjelaskan bahwa sebelumnya BPDPKS hanya memberikan biaya untuk sertifikasi melalui pendanaan dan pembiayaan Legalisasi Sarana (LS) dalam proses sertifikasi. Namun, kini pendekatan tersebut telah berubah. BPDPKS akan memperbaiki prosesnya dengan memberikan penguatan kepada petani untuk memulai proses ISPO. Pihaknya terus mendorong inisiatif ini karena prinsip ISPO yang terus membangun. “Membangun itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, dan saat ini kita akan memberikan pelatihan kepada petani terlebih dahulu tentang Legalisasi Sarana sebelum mereka memperoleh ISPO. Kami mendorong petani untuk mengadopsi ISPO,” tegas Sunari.

Baca Juga:  Penggunaan Biodiesel Bagian Dari Transisi Energi Global

Dengan pendekatan baru ini, diharapkan bahwa lebih banyak petani kelapa sawit akan terlibat dalam proses sertifikasi ISPO, sehingga industri kelapa sawit Indonesia dapat terus meningkatkan standar keberlanjutannya dan menjadi pemain utama dalam pasar global yang menghargai prinsip-prinsip keberlanjutan. Langkah BPDPKS ini diharapkan dapat mempercepat transformasi industri kelapa sawit Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Bernadinus Steni Sugiarto dari Kaleka menyebut bahwa, kendala dana dalam proses sertifikasi bisa diatasi bila petani sawit yang mengikuti sertifikasi ISPO dalam jumlah banyak, dalam pengalaman yang telah dilakukan bila mensertifikasi ISPO dengan petani sebanyak 500 petani, maka biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 170 per ha.

Lain halnya bila mensertifikasi petani sawit sebanyak 2000 petani, maka biaya yang muncul hanya sekitar kurang US$ 50 per ha.

Kata Steni, aspek peningkatan kapasitas, pemetaan, pembentukan organisasi, dan legalitas adalah langkah krusial dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit. Aspek-aspek tersebut dapat didukung oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh otoritas lokal.

Dalam penerapan proses ISPO dengan skala besar diperlukan untuk memastikan efisiensi maksimal. Oleh karena itu, pendekatan kewilayahan (yuridiksi) menjadi kunci dalam melaksanakan audit tersebut. Pemda memegang peran utama dalam memimpin proses ini, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, NGO, pelaku industri, dan petani. Kolaborasi ini memungkinkan saling mendukung antar-stakeholder serta memastikan implementasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan.

Selanjutnya, kata Steni, insentif menjadi bagian penting dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Salah satu penerima manfaat yang signifikan adalah petani sawit swadaya.

“Dengan pendekatan skala wilayah, perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut dapat saling berkolaborasi dan memberikan dukungan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab Pemda untuk memfasilitasi kerjasama ini dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan,” tandas dia.

Baca Juga:  KELAPA SAWIT, KARET, KOPI, KAKAO MASUK DALAM FOREST RISK COMMODITIES EROPA