Jakarta, Media Perkebunan.id
Dasar pembangunan ekonomi Eropa saat ini adalah untuk mencapai netral karbon tahun 2050. Karena itu setiap aktivitas ekonomi termasuk perdagangan dikaitkan dengan upaya mengatasi perubahan iklim dengan pengurangan emisi gas rumah kaca. Wahida Magraby, Atase Pertanian KBRI Belgia merangkap Luxembrug dan Uni Eropa menyatakan hal ini dalam diskusi “Masa Depan Budidaya Kopi di Tengah Krisis Perubahan Iklim” yang diselenggarakan IDH.
Semua aktivititas ekonomi dalam negeri di Eropa termasuk impor harus memenuhi kriteria pengurangan emisi gas rumah kaca. Indonesia sebagai patner dagang Uni Eropa semua ekspornya harus memenuhi regulasi Uni Eropa terkait hal ini.
Beberapa komoditas andalan ekspor Indonesia ke Eropa dimasukkan dalam Forest Risk Commodities (komoditas yang berisiko terhadap deforastasi hutan tropis). Komoditas itu adalah kelapa sawit, karet, kakao dan kopi. Komoditas lain yang masuk dalam FRC adalah kedelai, jagung, sapi (daging dan kulit). Indonesia bukan eksportir tiga komoditas ini.
“Eksportir kelapa sawit, karet , kopi dan kakao ke Uni Eropa harus mengikuti aturan soal pengurangan emisi gas rumah kaca. Jika tidak bisa memenuhi maka ekspor bisa dilarang,’ kata Wahida. Ekspor bisa dilakukan jika sudah memenuhi standar keterlacakan produksi yang bebas deforestasi dalam bentuk sertifikasi.
Khusus kopi, Laporan Katalog Iklim yang disusun bersama oleh IDH, Conservation International, Global Coffee Platform, HRNS Coffee Climate Initiative dan Specialty Coffee Association tahun 2019 menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap sektor kopi sangat nyata.
“Kopi adalah tanaman yang sangat tergantung pada suhu dan pola curah hujan tertentu. Perubahan iklim, seperti kenaikan suhu, curah hujan yang tidak teratur, kekeringan dan badai telah mengganggu pertumbuhan tanaman kopi. Ditambah lagi, tanaman kopi di Indonesia sudah tergolong tua, banyaknya persebaran hama dan penyakit, juga praktik bertani yang tak lagi sesuai,” ujar Melati, Program Manager Commodities and Intact Forest, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH).
Ada lima tantangan akibat risiko iklim yang ditemui di setiap negara penghasil kopi di dunia. Jika tidak segera ditangani, maka dapat mengancam kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat yang bergantung pada sektor kopi.
Kelima tantangan tersebut adalah kehilangan area lahan dan perlunya berpindah ke lahan yang lebih cocok, meningkatnya kebutuhan air, proses pembungaan dan perkembangan biji kopi yang terganggu, meningkatnya persebaran hama dan penyakit tanaman, serta meningkatnya kerentanan bagi petani kecil dan petani perempuan.
Di sisi lain ada enam strategi mitigasi ketahanan iklim di sektor kopi. Strategi tersebut adalah perlunya penelitian lebih lanjut dampak perubahan iklim terhadap kopi; perlunya berinvesitasi pada kebutuhan khusus kebun dan proses pengolahan, penyusunan dan pelaksanaan mekanisme keuangan untuk memfasilitasi investasi; perlunya berinvestasi dalam pengembangan varietas kopi yang tangguh menghadapi perubahan iklim; perlunya penguatan kebijakan pembangunan dan lingkungan di tingkat nasional; dan perlunya penguatan organisasi petani.
Sektor kopi di Indonesia sangat berpotensi untuk dibenahi agar memiliki ketahanan terhadap iklim. Beberapa faktor pendukung termasuk kondisi alam Indonesia yang dapat diperbaiki untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK), melalui program perhutanan sosial dan rehabilitasi lahan. Selain itu, terdapat beberapa faktor pendorong lainnya yaitu Paris Agreement yang mengikat komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon nasional dan European Green Deal yang mensyaratkan sertifikasi untuk impor komoditas oleh negara-negara Eropa. Eropa hanya mengimpor kopi dengan standar keterlacakan produksi yang bebas deforestasi.