2nd T-POMI
2017, 21 Mei
Share berita:

Riset and Development di Indonesia belum dianggap sebagai investasi, tetapi sebagai biaya. Bahkan pada beberapa kasus dianggap sebagai zakat fitrah saja. Karena itu tidak heran bila bangsa Indonesia sulit maju karena tidak menghargai knowledge yang didapat dari R & D. Agus Pakpahan, Profesor Riset Balitbangtan menyatakan hal ini dalam seminar Inovasi dan Teknologi Terkini Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Sawit Secara Berkelanjutan yang diselenggarakan Media Perkebunan/Perkebunannews.com.

“Contohnya ketika saya masih menjadi deputi menteri BUMN merubah LRPI jadi PT RPN. Waktu itu LRPI dianggap organisasi tanpa bentuk karena perusahaan bukan, koperasi bukan, lembaga pemerintah bukan. Saya minta UI lakukan kajian dan konsep yang diajukan adalah jadi PT RPN,” katanya.

Berubah jadi PT karena riset yang dilakukan berbeda dengan riset perguruan tinggi. Lembaga-lembaga penelitian dibawah LRPI ini hasil penelitiannya dekat dengan pasar. Jadi produk penelitian seperti benih, pupuk dan lain-lain yang dihasilkan langsung masuk ke pasar. Apa yang dilakukan persis seperti Monsanto dan Syngenta.

“Saya pikir ini potensi besar. Saya rancang anggaran PT RPN berasal dari 2,5% budget PTPN dan RNI , sekitar Rp2 triliun/tahun. Waktu itu saya sudah rancang untuk mensekolahkan peneliti ke luar negeri sekian, riset kelapa sawit sekian, mengganti laboratorium sekian. Malam saya ajukan ke Menteri BUMN dan mendapat pesetujuan dan mendapat kuasa untuk mengajukan,” katanya.

Tetapi paginya Agus dapat telepon. Anggarannya dirubah dari 2,5% budget menjadi 2,5% dari keuntungan. Artinya status dana untuk penelitian sama dengan untuk PKBL, sama dengan untuk zakat fitrah. Padahal status itu penting.

Beda dengan Malaysia yang menganggap riset itu penting dan sebagai investasi untuk merebut masa depan. Di Indonesia riset masuk sebagai biaya, sama dengan untuk membeli makan pada hari ini, bukan untuk masa depan.

Baca Juga:  Agustus 2022, Perkebunan Masih Penyumbang Terbesar Ekspor

Periode 1981-1985 R&D /kapita Malaysia USD6,93, Amerika Serikat USD5,98, sedang Indonesia ia USD0,86. Di Malaysia untuk satu juta penduduk ada 51 peneliti Amerika Serikat ada 60 peneliti dan Indonesia ada 8 peneliti. Pola pikir Malaysia sudah sama dengan negara maju.

Razak Purba dari Orion setelah pensiun sebagai pemulia di PPKS menyatakan senang membandingkan Indonesia dengan Malaysia. Dua negara ini sama-sama memungut dana dari ekspor CPO, Indonesia lewat BPDPKS sedang Malaysia dana ces oleh MPOB.

Bedanya adalah Indonesia memungut Rp10 triliun tahun lalu dan digunakan untuk dana riset hanya Rp50 miliar atau 0,5% saja. Malaysia memungut 11 ringit untuk setiap ton ekspor CPO, 8 ringgit di keluarkan untuk penelitian sedang 3 ringgit untuk keperluan lain.

Jadi dana riset kelapa sawit Malaysia sekitar 73% atau 140 kali dana riset kelapa sawit Indonesia, padahal sumber dananya sama dari pungutan ekspor CPO. Wajar kalau Indonesia sekarang mengekor Malaysia.