2nd T-POMI
Share berita:

Melaksanakan pertanian tanaman organik pasti ada tambahan biaya produksi dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi ada juga tambahan manfaat. Pemasaran produk organik bisa sebagai komoditas atau bermerek yang masing-masing punya konsekuensi. Agus Wahyudi, peneliti Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat menyatakan hal ini.

Menjual dalam bentuk komoditas sangat mudah, panen, keringkan setelah memenuhi syarat lempar ke pasar dalam bentuk curah sebagai produk organik tanpa identitas. Harga ditentukan oleh pembeli dan produsen tidak berbuat apa-apa.

“Saya masih melihat produk bersertifikat organik diekspor dalam bentuk curah. Di negara tujuan ekspor baru dikemas, diberi identitas sehingga nilai tambah ada pada pembeli,” katanya.

Alternatif kedua adalah menjadi produk bermerek, dikemas dengan identitas merek yang jelas sehingga ada tanggung jawab dan jaminan produsen, menjadi produk yang bernilai tambah. Harga ditentukan sendiri oleh produsen.

Pasar organik sendiri terbagi menjadi rumah tangga yang merupakan konsumen akhir sehingga harus produk jadi; konsumen lembaga seperti rumah makan, katering, hotel, pengrajin jamu yang pada umumnya industri kecil menengah tetapi ada juga yang besar; industri manufaktur seperti pabrik jamu, farmasi, komestik yang umumnya industri besar.

Pada konsumen rumah tangga, pasar produk organik adalah niche market yang bersedia membayar nilai tambah berupa produk yang sehat dan ramah lingkungan. Tidak setiap orang mampu menghargai ini dan bersedia membayar. Karena itu pasarnya adalah ibu-ibu berpendidikan tinggi dan keluarga mapan karena harganya 50-200% lebih tinggi.

Pasar harus diperhatikan supaya produk organik di Indonesia semakin berkembang. Negara-negara yang produk organiknya berkembang dengan pesat adalah India, Meksiko, Etiopia dan Pilipina. Mereka mengincar pasar dunia yang tumbuh 15%/tahun. Indonesia juga harus ikut lewat gerakan pertanian organik.

Baca Juga:  MENTAN : INSTIPER PENTING BAGI INDONESIA DAN DUNIA

Poppy Firzani dari PT Soho menyatakan untuk produk Curcuma plus mereka menggunakan temu lawak organik yang ditanam sendiri lewat Soho Center of Excelence Herbal Reserach di Sukabumi juga melibatkan kelompok tani disekitarnya. Pengembangan kebun temu lawak organik dibantu Pusat Biofarmaka IPB dan Balittro. Varietas yang digunakan adalah Curcina 2 dari Balittro yang produktivitas dan kandungan curcuminoid serta xantorizol tinggi.

Pupuk yang digunakan pupuk kandang dan limbah pabrik Soho sendiri yaitu daun jambu. Permasalahannya adalah biaya lebih tinggi terutama untuk pengendalian gulma karena harus manual dengan dibabat sehingga butuh tenaga kerja lebih banyak.