2nd T-POMI
2023, 22 Agustus
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Pro dan kontra terhadap Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) terjadi di berbagai negara khususnya negara-negara tropis penghasil komoditas yang menjadi sasaran. Bagi pencinta lingkungan EUDR adalah suatu kemajuan dalam proteksi hutan sedang pelaku bisnis khususnya pada komoditas yang menjadi sasaran  merupakan penghambat perdagangan.

“Petani yang akan terkena dampak sebagai efek domino atas  atas hambatan perdagangan yang diberlakukan, ” kata Pahala Sibuea, Ketua Umum POPSI POPSI (Perkumpulan Forum  Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia) sehubungan dengan diadakannya “Palm Oil  vs EUDR, Let’s Talk EUDR With Special Attention to Palm Oil” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan dan  BPDPKS.

Secara prinsip, pemberlakuan EUDR baik untuk lingkungan pada masa akan datang. Masalahnya EUDR banyak mengabaikan prinsip- prinsip kesepakatan/ Deklarasi Rio De Janeiro, Brasil 1992 tentang Pembangunan Keberlanjutan .

 “ Juga mengabaikan  kesepakatan SDGs tentang sosial – ekonomi. Sangat disayangkan EUDR mendefinisikan deforestasi yang mengacu pada FAO,” katanya.

Komoditi sasaran EUDR adalah kedelai, minyak kelapa sawit, kayu, daging sapi, kopi, kakao dan karet. Ini dianggap diskriminasi karena komoditi sasaran tersebut secara kenyataan penggunaan lahannya (land use) masih lebih kecil bila dibandingkan penggunaan lahan Bunga Matahari (sunflower), rapeseed (canola).

“Dua komoditas ini  juga penghasil emisi karbon yang lebih banyak dibandingkan sawit dan kopi. Disinilah tampak sepertinya pepatah ada udang dibalik batu, yaitu dugaan terjadinya memproteksi petani mereka dari persaingan perdagangan komoditas,” kata Pahala lagi.

Disamping itu kurang tepat EUDR mengkategorikan negara beresiko tinggi, sedang dan rendah tanpa meninjau komitmen dan pencapaian negara tersebut dalam menekan emisi karbon untuk menjaga perubahan iklim yang selalu menjadi acuan deforestasi.

Baca Juga:  DITJENBUN KELUARKAN REKOMTEK PEREMAJAAN SAWIT RAKYAT 2.836 HA

Berlakunya EUDR ini membuat ambigu sertifikasi tata kelola keberlanjutan seperti ISPO atau RSPO yang selama ini yang menjadi acuan pasar, karena akan ada uji tuntas legal dan bebas deforestasi, selain itu dikenakan denda bagi yang tidak memenuhi syarat.

“Hal ini yang akan membawa dampak terhadap perdagangan, khususnya bagi petani.  Harga TBS bisa rendah sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan. . Sudah wajar bagi negara-negara produsen komoditas sasaran melakukan protes dan bernegosiasi atas EUDR untuk  memproteksi petaninya,” katanya.

Dalam situasi seperti ini pemerintah supaya tetap membelakukan moratorium sawit sampai tata kelola sawit berkelanjutan benar-benar terimplementasi; target mandatori ISPO bagi petani tetap dilanjutkan, sembari memperbaiki proses pelaksanaannya; target sertifikasi ISPO dan RSPO dapat dilaksanakan secara bersama, sehingga keberterimaan sawit dipasar  dapat diperbaiki.