2nd T-POMI
2021, 18 Juni
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id
Dalam pelaksanaan program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), petani tidak bisa dilepas sendiri. “ Membangun kebun itu tidak sesederhana yang dipikirkan petani. Banyak kaidah agronomi yang harus dipenuhi. Karena itu harus ada pendampingan teknis yang benar dari perusahaan mitra kelompok tani,” kata Tidar Bagaskara, Ketua GAPKI Jambi.

Contohnya adalah banyak petani tidak memahami serangan kumbang tanduk pasca replanting. Kumbang ini mematahkan pucuk dan bisa mematikan bibit yang baru ditaman, kalau tidak mati pertumbuhan tanaman bisa stagnan.

Kualitas bibit juga harus benar dengan menggunakan bibit varietas unggul bersertifikat. Harus ada penyedia benih unggul bagi petani . Petani banyak yang tidak mengerti masalah ini, sehingga harus ada edukasi yang benar.

“Bibit harus jadi perhatian. Saat ini banyak spekulan yang memanfaatkan PSR dengan menjual bibit asal-asalan. Harus dipastikan menggunakan bibit yang benar. Kalau petani PSR menggunakan bibit yang tidak benar maka tujuan peningkatan produktivitas tidak tercapai dan pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Harus ada petugas dinas perkebunan atau perusahaan mitra yang memastikan bibit yang digunakan legitim. Bibit ini harus ketat sekali,” katanya.

Selain itu tanaman harus dipupuk dengan benar, masalahnya sekarang banyak petani kesulitan mendapatkan pupuk. Harus ada pendampingan dari pemda atau perusahaan supaya petani bisa mendapatkan pupuk dengan harga yang wajar.

Syarat bagi petani yang akan ikut program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) sudah disederhanakan dari 18 tinggal 2 yatu legalitas lahan dan bergabung dalam kelembagaan. Hal ini sangat positif bagi petani supaya semakin banyak yang ikut.

Supaya lebih banyak lagi, sosialisasi harus lebih gencar sampai ke akar rumput yaitu petaninya langsung. Saat ini pengetahuan mengenai PSR masih banyak ada pada level pengurus kelompok tani dan kelembagaan petani tetapi belum sampai ke petani.

Baca Juga:  AKSI KEPRIHATINAN PETANI SAWIT INDONESIA HADAPI REGULASI UNI EROPA

Masalah legalitas juga perlu diperhatikan, karena banyak lahan sudah diperjualbelikan tanpa balik nama. Meskipun sertifkat masih atas nama A tetapi pemilik dan pengelola kebun adalah B. Ketika PSR maka B lah yang berhak karena dia yang memiliki dan mengelola sekarang. Hal seperti ini merupakan realita lapangan.

Ketika kebun sudah jadi dan menghasilkan maka tata niaga TBS harus dibenahi supaya tidak terlalu panjang. Kalau terlalu panjang maka tiap titik ada pebisnis yang mengambil profit, sehingga keuntungan petani tergerus.

Sebaiknya kelembagaan petani yang langsung menjual ke perusahaan, petani menyerahkan TBSnya pada kelembagaan. Cara ini berhasil baik pada program PIR Trans masa lalu. Tetapi sekarang banyak pebisnis yang masuk menjadi suplier PKS sehingga tata niaga menjadi panjang dan menggerus keuntungan petani. Petani peserta PSR nanti harus kembali pada pola PIR dengan penjualan TBS lewat kelembagaan petani.

Kelembagaan petani juga harus profesional. Pengurus bukan dipilih karena mereka tokoh masyarakat atau orang yang disegani, sebab kalau pengelolaan kelembagaan tidak benar maka tidak ada gunannya. Pengurus kelembagaan petani seperti koperasi harus mendapat pembinaan dari dinas koperasi setempat supaya lebih profesional. Mereka mampu mengelola koperasi dengan manajemen yang baik termasuk adminstrasi dan akuntansi yang benar.

Transportasi TBS harus dipegang langsung oleh koperasi, bukan diserahkan pada pihak lain yang akan menggerus keuntungan petani. Koperasi harus punya mimpi memiliki PKS sendiri atau jadi pemegang saham. Kalau ini tercapai maka SHU yang dibagikan pada anggota semakin besar.

‘Kalau hal ini tercapai makan kesejahteraan petani semakin meningkat juga pertumbuhan ekonomi sekitar lebih tinggi. Dengan multiplyer efek besar maka daerah perkebunan sawit ekonominya semakin mapan dan mandiri,” katanya.

Baca Juga:  PEMBANGUNAN PERKEBUNAN HARUS FOKUS PADA PEKEBUN