2nd T-POMI
2021, 16 Agustus
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

EU Green Deal memasukkan empat komoditas perkebunan yaitu kakao, kopi, karet dan kelapa sawit sebagai produk yang berisiko merusak hutan dan lingkungan (Forest and Ecosystem Risk Commodities (FERC)). Konsekuesnsinya persyaratan 4 komoditas ini untuk masuk ke UE akan semakin ketat, juga aspek keterlacakan dari hilir sampai ke hulu.

UE juga mewajibkan petaninya mengurangi 50% penggunaan pestisida untuk mitigasi polusi terhadap tanah, air, udara di sekitar pertanian; pengurangan 25% pupuk kimia pada tanaman pangan; peningkatan 25% pertanian organik. Petani UE minta produk impor dari negara lain juga dikenakan ketentuan yang sama.

Menanggapi hal ini pokja Kakao PiIS AGRO Fay Fay Cho dari Mars menyatakan banyak hal yang harus dibenahi seperti aspek sustainable. Semua pemangku kepentingan kakao harus bekerjasama melakukan mitigasi perubahan iklim ditengah produksi kakao nasional yang semakin menurun.

HAM, lingkungan hidup dan keterlacakan menjadi komponen yang penting dan rantai pasok kakao. Kakao Indonesia citranya relatif lebih bagus dalam bidang ini dibanding negara produsen kakao lain. Kakao tidak bisa lagi ditanam secara monokultur tetapi harus ditanam dengan sistim agroforestry. Penanaman kakao harus diikuti tanaman berkayu.

Konsep Perhutanan Sosial yang ada di Indonesia bisa digunakan untuk menanam kakao. PIS Agro saat ini bekerjasama dengan kabupaten-kabupaten sentra kakao sedang membuat agroforestry kakao. Praktek ini terbukti meningkatkan pendapatan petani karena sumber pendapatannya bervariasi tidak hanya dari kakao saja.

Pokja Kopi PIS Agro Charlotte Navaud dari Jacobs Douwe Egberts (JDE), menyatakan tantangan bagi eksportir kopi saat ini adalah bagaimana kopinya sudah ditanam sesuai dengan kaidah lingkungan. Pengurangan penggunaan pestisida dan pupuk kimia seperti yang diminta Eropa, Indonesia lebih kompetitif dibanding produsen kopi lain seperti Brasil dan Vietnam. Sselama ini petani kopi Indonesia relatif menggunakan pupuk kimia dan pestisida secara terbatas.

Baca Juga:  SMI Terus Mengembangkan Industri Teh

Indonesia lebih punya kesempatan karena pengelolaan budidaya kopi bisa lebih sustainable. Selama ini biaya produksi kopi sangat tergantung pada biaya pupuk dan pestisida, dan banyak petani kopi Indonesia sudah lama mengurangi penggunaanya.

Pemerintah dan pelaku usaha kopi perlu bekerjasama melakukan edukasi ke petani kopi soal regulasi Eropa ini. Demikian juga perlu lebih banyak kampanye pada konsumen di Eropa bahwa kopi Indonesia banyak yang sudah ditanam secara organik, juga sudah melaksanakan agroforestry.

Widyantoko Sumarlin dari Kirana Megantara sebagai Pokja Karet PIS Agro menyatakan karet bukan komoditas pangan tetapi komoditas kritikal dengan posisi Indonesia dan Eropa saling membutuhkan. Sekitar a 80% karet alam digunakan untuk industri ban. Indonesia adalah produsen sementara Eropa tidak bisa menghasilkan karet.

Eropa dan Inggris merupakan tujuan ekspor nomor 4 karet Indonesia setelah Amerika Serikat, China dan Jepang. Eropa saat ini minta produk karet yang sustainable. Standar sertifikasi karet belum ada dan sedang dicari formulanya, dari pembahasan yang dilakukan sekarang sepertinya akan mirip RSPO pada kelapa sawit.

Indonesia minta supaya ada pembagian tanggung jawab. Eropa minta karet sustainable, produsen bisa penuhi tetapi semuanya perlu biaya tambahan. Pabrik karet sebagian besar tidak punya kebun sehingga bahan bakunya dari pedagang yang membeli dari petani.

Kalau ingin karet sustainable maka pabrik ban harus memberi insentif dalam bentuk harga. Komitmen itu harus ada dulu. Membina petani supaya bisa memenuhi kriteria sustainable butuh biaya tidak sedikit. Petani, pedagang dan pabrik karet remah berada dalam posisi sama sebagai penerima harga. Sedang pabrik ban berada dalam posisi penentu harga. Kalau mau memberi insentif harga sustainability karet pasti bisa berjalan.

Baca Juga:  PEMPROV KALBAR ATUR TATANIAGA TBS

Pokja sawit PIS Agro, Azis Hidayat dari Sinar Mas menyatakan saat ini yang perlu dilakukan adalah mempercepat sertifikasi ISPO baik bagi perusahaan dan terutama bagi petani. Sertifikat ISPO menunjukkan pengelolaan sawit sudah sustainable, seharusnya Eropa menerima ini.