2nd T-POMI
2021, 25 Desember
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Kelapa sawit saat ini merupakan penopang perekonomian Indonesia dan yang paling banyak hambatan perdagangannya. Indonesia meresponnya dengan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yaitu ISPO. Mudhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian menyatakan hal ini.

Penguatan politik kelapa sawit berkelanjutan dilakukan lewat Inpres RAN KSB (Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan). RAN KSB merupakan peta jalan menuju perbaikan kelapa sawit berkelanjutan; acuan bagi pemerintah, pelaku usaha, CSO dan lembaga pembangunan internasional dalam mendukung pengembangan kelapa sawit berkelanjutan tahun 2024; disusun bersama oleh semua pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha yang tergabung dalam FoKSBI.

RAN KSB penting untuk peningkatan iklim usaha kelapa sawit, peningkatan produktivitas dan kualitas sawit pekebun, percepatan pemenuhan ISPO, berkontribusi pada pencapaian SDGs.

Kelapa sawit merupakan komoditi andalan ekspor ke UE. Negara anggota UE yang volume dan ekspor sawitnya besar dan menjadi utama adalah Belanda, Italia, Spanyol dan Perancis. Neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara itu impotir kelapa sawit ini positif kecuali dengan Perancis.

Dengan posisi yang sangat srategis ini maka Indonesa menggugat kebijakan indirect land use change (ILUC) Uni Eropa ke WTO. Pokok gugatan Indonesia adalah model perhitungan risiko dengan ILUC masih sangat mendasar dan tidak dapat disamakan penggunaannya untuk menghitung deforestasi pada komoditas tertentu.

Kriteria ILUC hanya berfokus pada lahan/hutan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, cenderung ditujukan pada negara penghasil minyak sawit. Uni Eropa mengkecualikan kedelai Amerika Serikat, walau kriteria ILUC menetapkan kedelai memiliki tingkat defortasi yang tinggi.

RED merupakan pendekatan sepihak UE untuk melindungi rapeseed yang pangsa dalam negerinya tergerus oleh minyak sawit impor sebagai bahan baku biofuel. Penggunaan data yang tidak akurat dan masih bersifat asumsi (tanpa verifikasi) yaitu alasan tahun 2008-2015 sebagai dasar menentukan high risk ILUC dan tidak melakukan verifikasi dalam mengkorelasi data deforestasi dan perluasan pertanian.

Baca Juga:  PT AAL Siap Mendongkrak Populasi Sapi

Irfan Bakhtiar, Direktur Program SPOS Indonesia menyatakan mau tidak mau sekarang yang dihadapi adalah persepsi buruk sawit Indonesia di dunia internasional. Sawit dipersepsikan sebagai penyebab deforestasi dan tata kelolanya tidak baik.

Pemerintah Indonesia sudah merespon baik dengan menyatakan memang ada masalah tetapi sekarang sedang dalam proses memperbaiki. Hal ini ditujukan dengan regulasi Inpres Moratorium yang kelihatannya tidak akan diperpanjang lagi, Inpres RAN KSB, Perpres ISPO. Penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan diatur lewat UUCK dan produk hukum turunannya.

Tangangan terbesar adalah bagaimana mengimplementasikannya di lapangan. SPOS ikut berperan mendukung pemerintah dalam memperbaiki tata kelola kelapa sawit yang lebih baik dan memperbaiki persepsi pasar internasional.

Rektor IPB University, Arif Satria menyatakan IPB hadir untuk memberikan solusi dalam memperbaiki persepsi sawit di mata dunia. Di Jambi IPB melakukan riset untuk mewujudkan kelapa sawit berkelanjutan. Sebelas dubes dari negara-negara UE sudah dibawa ke sana untuk melihat bahwa kelapa sawit berkelanjutan sangat bisa diimplementasikan.

Sawit merupakan penopang perekonomian Indonesia dan IPB punya tanggung jawab moral membela di dunia internasional. Isu lingkungan merupakan tantangan sekaligus peluang untuk menunjukkan governance dalam tata kelola sawit. Riset-riset sawit IPB ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.