2nd T-POMI
2024, 29 April
Share berita:

Bogor, Mediaperkebunan.id

EUDR (European Union’s Deforestation Regulation)  menyebutkan kayu, kopi, sawit, kakao, karet , kedelai dan daging sapi  yang bisa diekspor ke Eropa harus berasal dari areal non deforestasi sejak Desember 2020. Data CIFOR-ICRAF (The Center for Intenational Forestry Research and World Agroforestry) menyatakan mengacu pada cut off EUDR maka hanya 1% areal sawit Indonesia yang termasuk deforestasi sedang 99% non deforestasi.

Prof Herry Purnomo, Direktur Eksekutif CIFOR-ICRAF Indonesia) menyatakan hal ini pada Media Perkebunan.id. Kalau patokanya 2010 maka 14% sawit berasal dari deforestasi, 86% non deforestasi. Kalau tahun 1970 maka 70% deforestasi dan 30% non deforestasi.

“Dengan posisi ini Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam kelapa sawit hijau. Kita jangan sibuk membahas EUDR bersifat diskriminatif karena 99% sawit berasal dari lahan non deforestasi. Dari 17 juta ha kebun kelapa sawit hanya 200.000 yang berasal dari deforestasi. Kita konsentrasi saja pada 99% untuk jadi pemimpin kelapa sawit hijau dan lupakan yang 1%, bisa dijadikan apa saja,” kata Herry.

Herry minta pemerintah  jangan sibuk membela 200.000 ha yang melanggar tetapi lebih baik mengembangkan ketelusuran (tracebility) pada jutaan ha yang non deforestasi. Jadi kelapa sawit Indonesia sebenarnya lebih mudah memenuhi permintaan konsumen dunia yang semakin menghijau.

“Ibaratnya dalam satu keranjang isinya sebagian besar bagus dan hanya sedikit sekali yang busuk. Kita akui ada yang busuk dibuang saja jangan mengaku semua bagus. Kalau selalu membela yang busuk orang melihat kita busuk padahal mayoritas bagus,” katanya lagi.

Indonesia sudah lama menanam kelapa sawit , beda dengan Afrika dan Amerika Latin yang baru memulai sehingga areal bekas deforestasi mereka jadi besar. Indonesia tidak perlu berkoalisi dengan negara-negara tersebut untuk membela tetapi lebih baik jadi pemimpin sawit hijau. Jangan sampai Malaysia lagi yang memegang, kebun mereka yang bagus dan bebas deforestasi di semenanjung, sedang di Kalimatan banyak juga yang bermasalah.

Baca Juga:  Manfaat Kelapa Sawit Bagi Kesehatan, Berikut 8 Produk Turunan

Terhadap kebun kelapa sawit di kawasan hutan kalau dimiliki oleh petani (sesuai regulasi <25 ha) maka harus difasilitasi legalitasnya, sedang untuk perusahaan maka mekanisme hukum yang bekerja.

Perkebunan, khususnya kelapa sawit , adalah komoditas yang sangat kompetitif dari Indonesia, sehingga keberadaanya harus dijaga. Hanya 1% saja yang masuk kriteria deforestasi EUDR, jadi ikuti saja.

“Kami berani menyatakan hanya 1% sawit Indonesia yang berasal dari deforestasi bila menggunakan cut off EUDR berdasarkan data ilmiah. Kami tegak lurus terhadap kebenaran ilmiah. Kalau pemerintah atau LSM menyampaikan data ini bisa saja tidak dipercaya karena ada kepentingan lain. Kami tidak punya kepentingan apapun,” kata Herry lagi.

PRnya adalah sekarang bagaimana menyelesaikan kebun sawit dalam kawasan hutan. Dana BPDPKS bisa digunakan terutama untuk legalitasnya. Indonesia harus jadi adidaya dalam kelapa sawit hijau, bukan kelapa sawit saja. Komoditas kayu lewat SLVK sudah bisa, maka sawit juga pasti bisa. Kayu Indonesia dengan SLVK  bisa masuk tanpa uji tuntas.

“Kita dengan mudah comply ke pasar Eropa, jadi sebaiknya konsentrasi kita ke pasar yang butuh kelapa sawit hijau. Memang pasar China, India , Bangladesh, Pakistan besar dan mereka tidak butuh kelapa sawit hijau. Mereka juga cerdik Indonesia butuh pasar bagi minyak sawit sehingga mengenakan bea masuk lebih tinggi, ditambahi persyaratan harus membeli produk mereka seperti jeruk Pakistan dan lain-lain,” kata Herry lagi.