2nd T-POMI
2024, 8 Januari
Share berita:

JAKARTA, mediaperkebunan.id – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencatat, secara nasional rata-rata harga tandan buah segar (TBS) sepanjang 2023 menunjukkan penurunan sebesar 13,4 persen dibandingkan tahun 2022.

Penurunan harga TBS ini sebagai akibat pelemahan harga minyak sawit (CPO) di pasar global sebesar 25,9 persen dan lokal (KPBN) sebesar 10,7 persen.

“Pelemahan harga CPO Internasional dan KPBN yang terjadi di tahun 2023 berdampak kepada harga TBS yang ditetapkan di 22 provinsi penghasil sawit,” ungkap Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat M.E Manurung dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/1/2024).

Apkasindo mencatat penurunan rata rata harga TBS terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah dan Papua dengan besaran penurunan mencapai 19,4 persen. Sedangkan penurunan harga TBS terkecil di Provinsi Riau dan Aceh dengan besaran penurunan mencapai 10,5 persen.

Gulat mengatakan, secara nasional rata rata harga TBS tertinggi per bulan mencapai Rp 2.705/kgdi Provinsi Sumatera Barat dan Riau pada periode Maret 2023. Sedangkan rata rata harga TBS terendah per bulan mencapai Rp 1.631/kgdi Provinsi Papua Barat dan Banten pada periode Agustus 2023.

“Pada kondisi di lapangan, lebih dari 90 persen petani kelapa sawit mendapatkan harga TBS di beli PKS di bawah penetapan harga di tingkat provinsi,” ujar Gulat.

Menurut Gulat, terjadi disparitas harga yang lebih rendah mencapai Rp 300/kg TBS untuk petani bermitra. Sedangkan untuk petani swadaya (non mitra) rata-rata harga TBS Rp 750/kg di bawah harga penetapan Dinas Perkebunan di 22 provinsi Apkasindo.

Sejak Januari 2022 DPP Apkasindo sudah melakukan rekap dan ranking harga TBS setiap provinsi Apkasindo dengan membandingkan harga Disbun dengan harga TBS dibeli PKS untuk petani swadaya dan petani bermitra.

Baca Juga:  Sime Darby Plantation Luncurkan Piagam Pertanian Bertanggung Jawab

“Melihat kondisi seperti ini, Apkasindo telah mengambil beberapa langkah strategis dengan meminta Kementerian Pertanian segera melakukan revisi Permentan 01/2018,” tukas Gulat.

Selain itu, lanjut Gulat, pihaknya juga meminta pemerintah untuk segera mendirikan Bursa CPO, dan meminta Kementerian Keuangan untuk menghitung ulang dengan berbagai parameter besaran Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (levy) yang proporsional. (YR)