2nd T-POMI
2023, 29 Juli
Share berita:

Bandung, Mediaperkebunan.id

Masyarakat Indonesia saat ini mengkonsumsi teh dengan alasan  kesehatan dan  gaya hidup. Pertumbuhan  penduduk yang tinggi membuat proseknya  sangat jelas besar sekali. “Sekarang kita harus tahu sasaran pasarnya, ikuti selera pasar atau menciptakan pasar baru. Sekarang ada 145 juta generasi milenial dan zelenial , arah kita ke situ dengan konsep pemasaran pola dan  model kekinian. Karena  sasarannya  anak muda meskipun teh  ready to drink tetapi tampil dengan budaya lebih kuat,” kata Mohammad Akmal Agustira, Kepala Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) PT Riset Perkebunan Nusantara , kepada Media Perkebunan.

Meskipun saat ini teh tidak termasuk komoditas prioritas mengingat pasar yang besar maka PPTK tetap melakukan aktivitas bisnis dan penelitian teh dan berjalan dengan baik. Pedapatan PPTK saat ini dari teh hijau. Pemasaran bagus,  sama sekali tidak ada masalah.  Justru produksi yang harus ditingkatkan untuk memenuhi permintaan pasar.

“Permintan mencapai 150 ton/bulan sedang produksi baru 70-80 ton saja yang berasal dari kebun sendiri seluas 450 ha.  Untuk meningkatkan produksi saya buat terobosan menampung teh petani, dulu pabrik hanya mengolah pucuk dari kebun sendiri saja,” katanya.

Masalah industri  teh ada  tiga yaitu tenaga kerja, mahalnya energi yang mencakup 60-70% dari biaya produksi, dan  pemupukan. PPTK fokus penelitian pada tiga masalah ini dengan penekanan pada  biaya produksi yang rendah.

Kondisi teh rakyat juga menjadi perhatian karena harga yang rendah luasannya semakin menurun. Akmal yang punya pengalaman lama di Pusat Penelitian Kelapa Sawit membina petani dengan  Prowitra (Pro Sawit Rakyat), akan direplikasikan  untuk pengembangan teh rakyat. PPTK akan membuat desa binaan, petani dibimbing menghasilkan teh bermutu dengan efisien, pucuknya dibeli PPTK untuk memenuhi kapasitas produksi pabrik.

Baca Juga:  Cara Tepat Memperoleh Khasiat Teh

“Isu lingkungan juga kita perhatikan terutama pada penyerapan  karbon. Saya sudah sangat berpegalaman dengan isu-isu kelapa sawit, ternyata isu teh juga  sangat menarik bahkan lebih pelik dari sawit contohnya   minimum residu level yang menjadi  tantangan tersendiri,” katanya

 Peneliti – peneliti sosial ekonomi PPTK diarahkan Akmal untuk membuat policy brief apa yang harus dilakukan semua pihak (pemerintah, perusahaan) terkait dengan teh. Akmal sendiri sebelum ditarik ke RPN kemudia ke PPTK merupakan peneliti sosial ekonomi PPKS.

“Dengan cara ini saya menekankan eksistensi PPTK Gambung bisa hadir kembali di dunia teh dan kina Indonesia. Peneliti-peneliti PPTK Gambung yang sekarang didominasi milenial saya minta membuat PPTK eksis kembali dan berperan,” katanya.

Berbeda dengan PPKS yang regenerasi penelitinya  sangat bagus, di PPTK ini seperti terputus, ada gap yang besar antara peneliti senior yang sudah pensiun dengan yang sekarang. Sekarang peneliti diarahkan harus menghasilkan penelitian yang  bagus dan berperan dalam industri teh, dengan menonjolkan lembaga PPTKnya. Peneliti milenial harus maju dan berkembang.

Keunggulan PPTK adalah punya kebun sendiri, sehingga semua hasil penelitian bisa diuji coba dikebun sendiri dulu. Kalau hasillnya bagus maka bisa dijual pada pihak lain yang membutuhkan.

Pendapatan PPTK saat ini dari  produk konservatif   hasil kebun yaitu teh hijau. Kebun diarahkan supaya biaya produksi semakin menurun dan ramah lingkungan. Caranya  dengan penggunaan biofertilzer dan biopestisida.

Keunggulan lain PPTK yaitu kebun dan peneliti berada di lembaga yang sama. Bandingkan dengan lembaga penelitian lain saat ini dengan peneliti berada di satu lembaga, sedang kebun berada di lembaga lainnya. Selain itu PPTK sangat spesifik hanya teh dan kina saja sehingga bisa fokus menghasilkan peneltian untuk mengatasi masalah industri ini.

Baca Juga:  SNI Teh Mestinya Disederhanakan