2nd T-POMI
2018, 4 Mei
Share berita:

Tidak efisiennya pabrik gula (PG) di Indonesia, terutama milik badan usaha milik negara, nasib industri gula nasional kini diambang kehancuran. Hal ini karena biaya produksi terlalu tinggi dibanding gula impor.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil menyebutkan, setidaknya ada tiga penyebab industri gula nasional berada di jurang kematian. “Pertama, cost politik. Kedua, perang dagang. Ketiga, semangat kompetisi,” tukasnya dalam seminar gula nasional di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Arum menuturkan, berbicara biaya politik dapat dilihat dari orang yang menjabat di sebuah pemerintahan. Karena itu orang yang menjadi sponsor bagi pejabat itu mempengaruhi kebijakan dan regulasi.

Penyebab kedua, lanjut Arum, adalah perang dagang. Disaat pemerintah memproduksi gula, ada orang yang berdagang gula ingin mendapat keuntungan dan mengusai sebanyak-banyaknya. Bahkan para pedagang masuk di lini-lini penentu kebijakan di negeri ini. “Para pedagang itu “bermain”, baik itu pedangang gula lokal maupun gula impor,” tandasnya

Ketiga, kata Arum, penyebab kehancuran gula karena diamputasinya semangat kompetisi. Hal ini dapat dilihat dari para direksi yang diduduki dari orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya. Sementara orang yang berkarir di perusahaan tersingkir. Akibatnya, terjadi berbagai dampak negatif lantaran orang-orang berkarir di industri gula tidak merasa dihargai.

Selain itu, menurut Arum, industri gula berada di jurang kematian karena ada kebijakan yang tidak terkoordinasi, kontradiktif bahkan terindikasi manipulatif. Salah satu contohnya importir gula yang diizinkan mengimpor tidak sesuai aturan dengan jumlah ratusan ribu ton. (YR)

Baca Juga:  Juli 2020: Harga Referensi CPO Naik dan Biji Kakao Turun