2nd T-POMI
2023, 2 November
Share berita:

NUSA DUA, mediaperkebunan.id – “No Palm Oil, No Life” menjadi slogan baru yang dipopulerkan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman dalam salah satu sesi Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023.

Slogan ini sangat relevan dengan kenyataan bahwa minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling serbaguna di dunia dan paling produktif dengan penggunaan lahan paling sedikit pada setiap ton yang dihasilkannya.

Untuk memenuhi kebutuhan global maka pentingnya program PSR tidak boleh diabaikan. “Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius,” ujar Eddy.

Pada tahun 2025, Eddy menyebutkan, diperkirakan produksi CPO (Crude Palm Oil) hanya akan mencapai sekitar 44 juta metrik ton. Hal Ini menekankan peran penting program ini dalam menjaga keberlanjutan industri tersebut.

“Program mandatori Biodiesel merupakan salah satu kunci dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia,” tegas Direktur Jendral Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE), Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Yudo Dwiananda Priaadi dalam Indonesian Palm Oil Conference 2023 (IPOC) yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali, Kamis (2/10/23).

Untuk mencapai target zero emission, ke depan Indonesia membutuhkan lebih banyak pasokan kelapa sawit.

“Sebagai program mandatori, implementasi biofuel melalui B35 pada tahun 2023 memiliki alokasi dari domestik sebesar 13.15 juta kilo liter dan diharapkan dapat mencapai 13.9 juta kilo liter pada 2025,” jelas Yudo.

Hingga September 2023, kata Yudo, kontribusi domestik dalam B35 sudah mencapai 8,9 juta kilo liter (68%) serta yang diekspor telah mencapai 121.000 kilo liter.

Tidak hanya biodiesel, Indonesia kini tengah mengembangkan penggunaan energi terbarukan lainnya yang berbahan kelapa sawit. Baru-baru ini, pemerintah melalui maskapai plat merah telah menguji coba bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur yang merupakan hasil dari penelitian Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Baca Juga:  Harga TBS Mitra Swadaya Riau (Masih) Menanjak

Yudo mengatakan, tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2.4% bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat CN-235-220 FTB dan berhasil. “Produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026,” ujarnya.

Produk dari minyak sawit diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dunia mulai dari bahan makanan, kosmetik, perawatan tubuh lainnya serta energi yang ramah lingkungan.

Bioenergi termasuk biofuel memainkan peran penting dalam usaha Indonesia mencapai Target Transisi energi untuk mencapai Zero Emmission. Saat ini target emisi sudah mencapai 30% dan bioenergi merupakan kontributor utama dalam mencapai target tersebut.

Merespon Hal tersebut, pelaku usaha menyambut baik upaya pemerintah dalam mengembangkan energi berbasis kelapa sawit. General Manager Green Energy Apical Group, Aika Yuri Winata menyatakan pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia.

Selain itu, lanjut Aiki, Sustainable Aviation Fuel (ASF) bukan hanya masa depan energi terbarukan di masa yang akan datang, namun juga mempertegas kelapa sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.

“Sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3% dari emisi pada tahun 2019. Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050,” jelas Aika.

SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%,.

Lebih lanjut, Aika menjelaskan, untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.

Baca Juga:  RSI Siap Jadi Mitra Pemerintah

Menurut Aiki, saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia.

“Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan dengan Fossil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergy khususnya bioavtur sangat diperlukan,” jelas Aika.

Terkait ketersediaan pasokan dari kelapa sawit Indonesia di masa yang akan datang, meskipun Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia namun masih menghadapi masalah produktivitas yang jauh dari ideal. Saat ini rata-rata produksi CPO Indonesia hanya 3-4 ton/ha per tahun. (*)