2nd T-POMI
2019, 14 Januari
Share berita:

Pengembangan industri olahan kelapa mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara gradual. Wisnu Gardjito, pendiri komunitas The Green Coco Island (TGCI) menyatakan hal ini dalam perbincangan dengan Perkebunannews.com di markas TGCI di Depok, Jabar.

TGCI merupakan komunitas penghasil produk olahan kelapa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti TGCI NTB, Halmahera, Raja Ampat, Riau, Sumatera Barat, Kalsel dan lain-lain. Kelapa menjadi lokomotif pengembangan agroindustri yang tersebar di seluruh Indonesia yang terkait dengan komoditas lain yang spesifik ada di daerah tersebut.

Di tiap provinsi dibuat AEC ( Agroindustrial Export Cluster). Lewat AEC ini dibentuklah exporting village yaitu desa yang mampu melakukan ekspor. Bagi Wisnu, berbisnis pertanian tidak bisa bahan baku diambil dari desa, lalu diolah di kota dan kembali ke desa dalam bentuk produk akhir untuk dikonsumsi, atau untuk diekspor. Diterapkan FMS (Flexible Manifacturing System) lebih mudah bila bahan baku yang diproduksi di desa, diproses di desa baru selanjutnya dijual dari desa tersebut juga.

Basis AEC berada di provinsi. Saat ini AEC yang sudah terbentuk diantaranya adalah AEC Aceh, Riau, Lampung, Sumbar, Sumsel, Kalteng, Kalsel, Kaltara, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sulut, Sulsel, Sultra, Sulbar, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat dan NTB serta NTT . Di bawah provinsi, terdapat cluster kabupaten dimana dibentuk unit-unit usaha dalam bentuk KDA (Koperasi Desa Agro). Lalu unit -unit cluster ini membentuk Perseroan Terbatas yang merupakan Badan Usaha Milik Masyarakat (PT BUMM).

Pengalaman pribadi Wisnu sendiri yang memulai usaha Juli 2007 dengan membuat sirup kelapa dengan bermodalkan Rp100.000 dalam waktu 3 bulan sudah bisa menghasilkan aneka produk olahan kelapa yang beromset Rp100 juta. Wisnu juga mengerahkan sarjana-sarjana yang mengangur di Jawa untuk membangun kebun kelapa di Kalsel lewat Koperasi Desa Agro Borneo yang dalam waktu 3 bulan sudah mampu mengembangkan perkebunan kelapa hingga puluhan hektar.

Baca Juga:  DIRJENBUN : KAWAL KEJAR 1 JUTA BATANG KELAPA DENGAN BAIK

ILOR (Incremental Labour Output Ratio) kelapa adalah 25. Berarti dari satu titik wilayah maka dapat dilakukan usaha dari tanam, panen, membuka sabut dan seterusnya yang memerlukan 25 orang. Sehingga ini akan membutuhkan tenaga kerja dari hulu ke hilir yang sangat banyak. “Saya membutuhkan 25 juta orang lagi untuk mengerjakan bisnis berbasis kelapa ini untuk tingkat nasional. Sehingga Indonesia tidak perlu mengirimkan TKW ke luar negeri. Justru seharusnya anak-anak muda dengan kemampuan tinggi yang berangkat ke luar negeri untuk memasarkan produk-produk olahan kelapa ini,” katanya.

Turunnya harga kelapa akhir-akhir ini yang mengakibatkan demo di sentra-sentra kelapa terjadi karena kelapa ini tidak pernah diolah menjadi produk consumable. “Kalau kita bergantung kepada eksportir kelapa segar atau pabrik-pabrik besar penampung kelapa segar maka masalah ini akan tetap terus terjadi. Contoh, ditengah-tengah harga kelapa yang drastis menurun coba dicek harga minyak kelapa yang ada di supermarket apakah harganya turun. Ternyata harga minyak kelapa tetap saja senilai Rp38.000/liter (Minyak Kelapa RBD). Artinya ada sesuatu yang salah. Karena itu saya memproduksi produk-produk akhir (finished good) yang harganya tidak fluktuatif,” katanya.

Beberapa kabupaten sudah bekerja sama dengan kelompok usaha Wisnu untuk mengembangkan AEC ini. Misal Bupati Inhil sudah datang ke markas The Green Coco Island untuk bersama Wisnu dan team mengatasi rendahnya harga ini. Setelah masyarakat diajari mengolah kelapa, dan mendirikan industri di pedesaan maka saat ini harga kelapa sudah bisa dibeli melalui KDA Inhil dari Rp500 menjadi Rp1500 per butir.

Bagi Wisnu, memandang kelapa jangan dinilai dari daging kelapanya saja, tetapi semua komponen kelapa harus dihitung, yaitu elemen sabut, batok , daging kelapa dan air kelapanya. Bila kita bisa memproduksi aneka produk olahan kelapa hingga level 3 saja sudah bisa kaya apalagi sampai level 7. Wisnu berpendapat, sekarang jangan lagi petani hanya memproduksi kopra. Kopra adalah masa lalu. Kalaupun petani harus memproduksi kopra sebaiknya kelapa segar diproses menjadi kopra putih yang masih lebih bagus nilainya.

Baca Juga:  56 TAHUN SAMBU GROUP, PERUSAHAAN INDONESIA YANG MENDUNIA