2nd T-POMI
2019, 27 September
Share berita:

JAKARTA, PERKEBUNANNEWS – Pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum tersentuh pemerintah, padahal jumlah petani sawit swadaya di Indonesia cukup banyak.

Hal tersebut diungkapkan Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Forum Discussion Group (FGD) Minyak Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 4 bertema “Petani Butuh Keberlanjutan Harga CPO Naik” di Jakarta.

“Sampai saat ini kemunculan kebijakan yang berpotensi bisa membantu pengembangan petani kelapa sawit swadaya masih belum maksimal, seperti Inpres No. 8 tahun 2018,” kata Darto.

Padahal, menurut Darto, dalam Inpres tersebut, presiden meminta untuk melakukan evaluasi ijin-ijin sawit yang sudah dikeluarkan bagi koorporasi serta melakukan pemetaan perkebunan rakyat, Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), revitalisasi kelembagaan tani dan alokasi 20 persen dari kawasan hutan.

Tapi, lagi-lagi, Inpres tersebut, tidak berjalan sehingga petani tidak memperoleh manfaat sejak Inpres ini dikeluarkan oleh Presiden. Dampaknya, Petani sawit masih saja memperoleh produktivitas rendah akibat kesulitan mengakses pupuk, sarana prasarana yang buruk dan mayoritas petani masih menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang sangat murah.

“Disamping itu, harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani masih ditentukan oleh hukum pasar dan belum adanya model perlindungan harga petani dari gejolak pasar sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” kata Darto.

Terbukti, berdasarkan catatan Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), bahwa sertifikasi pekebun atau petani masih sangat rendah. Padahal sertifikasi sustainable ini penting untuk perdagangan bebas.
Tapi, hal tersebut bukanlah tanpa sebab. Rendahnya sertifikasi untuk petani disebabkan antara lain, aspek legalitas atau kepemilikan lahan yang sebagian besar berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, pengurusan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), keengganan membentuk koperasi pekebun, dan masalah pendanaan (pra kondisi dan biaya audit).
“Hal-hal itulah yang menghambat sertifikasi bagi pekebun,” ucap Aziz Hidayat, Ketua Sekretariat Komisi ISPO.

Baca Juga:  Menarilah dengan Gendang Sendiri Bukan Gendang Negara Lain

Meski begitu, menurut Aziz, “implementasi percepatan sertifikasi ISPO telah menunjukkan hasil yang signifikan dan telah melampaui target Sertifikasi ISPO tahun 2019 seluas 5 juta hektar.” YIN