2nd T-POMI
2021, 24 Agustus
Share berita:

Blitar, Mediaperkebunan.id

Arif Zamroni, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia menyatakan mayoritas petani kakao masih sangat konvensional yaitu hanya konsentrasi pada budidaya saja, baik berkelompok atau tidak. Akibatnya proses rantai berikutnya diserahkan pada pihak lain baik trading pengumpulan biji sampai trading biji ke industri.

Petani sama sekali tidak ikut dalam permainan ini. Pada akhirnya petani banyak menjadi objek tanpa memiliki bargaining yang cukup.

Permasalahan petani kakao saat ini adalah alih fungsi lahan. Di Jatim banyak petani yang mengganti kakao dengan tebu, sedang di Sumatera dan Kalimantan dengan kelapa sawit. KLHK saat ini sedang gencar dengan penanaman sengon dan dinas kehutanan Jabar, Jateng, Jatim banyak membagi-bagikan bibit sengon sehingga banyak petani di 3 provinsi ini mengganti kakao dengan sengon.

Kalau harga biji kakao rendah mayoritas kebun tidak terawat, kalau harga biji tinggi kebun baru dirawat. Saat ini kebun kakao petani banyak yang terserang OPT. Kalau harga rendah petani tidak melakukan pengendalian, kalau harga tinggi baru melakukan pengendalian. Pengendalian OPT belum intensif.

Selain hama serangan binatang seperti kera dan tupai juga menjadi masalah di Lampung, Kaltim dan Jatim. Tupai memuntahkan kembali biji kakao dan aromanya jadi berbeda. Mungkin hal ini bisa dieksplorasi seperti halnya kopi luwak.

Petani kakao juga sebagian besar sudah tua. Kondisi ini menyebabkan alih teknologi menjadi lamban. Petani juga sebagian besar belum melek informasi pasar. Satu-satunya sumber harga berasal dari tengkulak.

Saat ini kondisi kakao yang relatif masih baik adalah Blitar, Sulawesi, Wonogiri, Lampung, Sumbar dan Berau. Petani sebagian besar menghasilkan kakao unfermented karena perbedaan harga dengan kakao fermentasi tidak besar. Ada beberapa kelompok tani yang bagaimanapun kondisinya mereka tetap menghasilkan kakao fermentasi.

Baca Juga:  SEAMEO BIOTROP Komit Mengembangkan Penelitian

Kondisi ini menyebabkan petani kurang bergairah. Dengan kondisi seperti ini jelas produktivitas tidak tinggi, kualitas juga rendah. Pola pikir petani adalah selalu membandingkan dengan tanaman lain sehingga mudah beralih fungsi. Petani banyak yang latah juga ikut trend tanaman yang sedang populer. Kakao juga sering dijadikan tanaman sambilan, bukan komoditas utama.

Selama pola penanganan kakao seperti ini maka kondisi ini akan terus berlanjut. Bahkan di beberapa daerah lain komoditas kakao benar-benar sudah punah. Paling banyak adalah kebun yang tidak terawat.

Sebagian besar petani sebenarnya tidak terlalu kaget dengan naik turunnya harga komoditas seperti kakao. Petani sudah biasa mengalamani hal ini. “Tetapi ingat mereka adalah owner usaha yang bebas menentukan harus bertahan atau alih fungsi. Kalau untung tetap mempertahankan kakao, kalau rugi ganti dengan tanaman lain,” katanya.

Seharusnya ini masalah bersama, bukan petani saja tetapi paling utama adalah bagi industri pengolahan, kemudian trader dan pemerintah. Semuanya perlu duduk bersama mencari pola penanganan yang tepat dan efisien.

Pastikan harga ditingkat petani itu harga optimal yaitu harga plafon dikurangi biaya operasional pengiriman. Jangan serahkan pada banyak rantai dan petualang. Kalau harga itu harus fluktuatif, apakah industri sebagai pihak yang berkepentingan tidak dapat membuat fluktuasi harga tidak ekstrim. Masalahnya harga kakao setengah jadi dan barang jadi tidak pernah turun.