JAKARTA, Perkebunannews.com – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok karena merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. “Kami menuntut pemerintah menarik dan membatalkan peraturan menteri keuangan itu,” ujar Ketua APTI Jabar Suryana dalam aksi demo bersama raturan petani tembakau di Jakarta, Senin (4/11).
Ratusan petani tembakau yang berdemo datang dari Cianjur, Ciamis, Banjar, Sumedang, Majalengka, Garut, Pangandaran, Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Mereka mengajukan dua tuntutan kepada pemerintah.
Menurut Suryana, kenaikan cukai rokok dan HJE rokok terlalu besar. Kenakan cukai dan HJE berdampak berkurangnya pembelian rokok yang berujung berkurangnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan masyarakat petani tembakau.
Selain itu, lanjut Suryana, tingginya harga jual rokok membuat semakin banyaknya rokok ilegal yang beredar di pasaran atau masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan masyarakat petani dan buruh industri rokok dan tembakau, namun juga merugikan pemerintah sendiri. “Rokok ilegal akan membuat pendapatan negara berkurang,” katanya.
Sekalipun harus naik, Suryana meminta, kenaikan cukai dan HJE rokok tidak drastis hingga mencapai 23 persen dan 35 persen. “Harusnya naik bertahap, misalnya 10 persen. Periode berikutnya 7 persen, sehingga menjadi 17 persen. Demikian seterusnya. Jangan seperti saat ini. Naiknya drastic hingga mencekik produsen dan petani tembakau. Kenaikannya lebih dari 20 persen,” ujarnya.
Menurut Suryana, kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau.
“Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah. Hal ini amat meresahkan dan menyengsarakan petani tembakau. Pemerintah harus menyadari dan merasakan itu,” ungkap Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang mencapai 35 persen. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai. Kenaikan HJE mestinya sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen, maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10 persen.
Selain itu, Suryana menuntut revisi PMK No. 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Mestinya aturan DBHCHT bukan minimal 50 persen untuk kesehatan melainkan maksimal 50 persen untuk kesehatan. Jika minimal 50 persen untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan.
Padahal, lanjut Suryana, masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT. “Karena itu kami minta direvisi, bukan minimal 50 persen untuk kesehatan tapi maksimal 50 persen untuk kesehatan,” tandasnya.
APTI Jawa Barat, kata Suryana, meminta sektor lain selain kesehatan juga menjadi prioritas dari pemanfaatan DBH CHT tersebut. “Kami berharap, pemerintah khususnya kementrian keuangan mendengarkan aspirasi kami sebagai rakyat sekaligus stake holder dari industri rokok dan tembakau di tanah air,” ujarnya. (YR)