2nd T-POMI
2024, 20 Maret
Share berita:

JAKARTA, mediaperkebunan.id – Swasembada gula yang ditargetkan pemerintah dapat dicapai dengan peningkatan produksi tebu, berdaya saing dan harga pokok produksi (HPP) rendah.

“Peningkatan produksi gula menunju swasembada harus diikuti daya saing produk gula yang berkemampuan menetrasi pasar secara berkelanjutan (sustainable). Hal ini dapat terwujud jika jumlah dan mutu produk gula sesuai kebutuhan pasar,” ujar Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Yadi Yusriadi.  

Menurut Yadi, swasembada gula yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika produk gula mempunyai daya saing. Hal ini tidak mudah karena  Indonesia juga terikat juga pada pasar global.

“HPP gula bisa rendah karena pabrik gula (PG) baru teknologinya modern dan berkapasitas besar serta terpenuhi bahan baku tebunya. PG juga berbasis HGU,” jelas Yadi.

Di Jawa, masih kata Yadi, biaya pengadaan tebu rakyat (TR) relative tinggi. Hal ini terjadi karena  persaingan antar PG dalam mendapatkan bahan baku. Persaingan dengan komoditi non tebu juga tinggi.

Di sisi lain, lanjut Yadi, HPP gula tinggi akibat pabrik gula masih teknologi lama dengan kapasitas kecil (<3.000TCD). PG-PG berbasis tebu rakyat yang berdekatan khususnya di Jawa.

Menurut Yadi, HPP gula sangat dipengaruhi kualitas tebu (rendemen), efisiensi proses produksi (over all recovery), biaya energi, dan biaya SDM. Pabrik yang mampu mengendalikan sistem produksi mulai pengadaan lahan sampai dengan menjadi gula akan mendapatkan HPP rendah.

Di Indonesia HPP gula tinggi yang pada tahun 2023 hampir mencapai Rp 13.000 per kilogram (kg). Sedangkan di negara lain HPP berkisar Rp 6.000 – 7.000/kg.

“Bagaimana kita mau kerja dengan kondisi seperti itu. Faktor daya saing yang utama adalah harga pokok produksi dan kualitas gula,” tandas Yadi.

Baca Juga:  Tata Cara Budidaya Tebu untuk Pemula, Lengkap sampai Panen!

Saat ini HPP sangat kompetitif. Di India HPP gula sekitar Rp 7.000/kg, Thailand Rp 6.300/kg, Brazil Rp 6.220/kg, Indonesia (2023) Rp 12.412/kg (belum ditambah PPN 10 persen). “Kalau harga gula Rp 13.000/kg, petani akan pusing, termasuk PG,” kata Yadi.

Selain itu, lanjut Yadi, Indonesia lambat dalam mengadopsi teknologi di kebun dan di pabrik. Halirisasi juga kurang dikembangkan. Hal ini menyebabkan tingginya HPP gula. Padahal sebenarnya dengan satelit bisa terlihat berapa luas lahan dan kondisinya seperti apa.

Yadi mengatakan, untuk meningkatkan produktivitas tebu yang terpenting kesuburan tanahnya. Di Indonesia kandungan organiknya di bawah satu persen.

“Dengan kondisi ini, walau pun dengan teknologi atau pun varietas yang bagus sulit mendapat produksi maksimal karena tingkat kesuburan tanah rendah,” jelas Yadi. (*)